PARBOABOA, Simalungun - Bau kemenyan dan suara gamelan mengiringi pertunjukkan seni kuda kepang di sebuah nagori (desa) yang mayoritas penduduknya dihuni masyarakat suku Jawa.
Suatu sore, jumat (19/7/2024), seorang lelaki berusia 45 tahun tampak sibuk mempersiapkan tempat pertunjukan itu, di lapangan Sekolah Dasar (SD) di nagori Bukit Rejo.
Lelaki itu bernama Polin. Ia tampak mondar-mandir, sesekali bibirnya terlihat komat-kamit seperti sedang berdoa atau mengucapkan mantra.
"Sebelum dimulai (pertunjukannya), kita harus panggil endangnya dulu," ujar Polin.
'Endang' bukan merujuk nama seseorang, melainkan sebutan untuk khodam (makhluk gaib). Khodam ini dipercaya memiliki kekuatan merasuki tubuh manusia sehingga orang tersebut bisa menari-nari sesuai irama gamelan dan gendang.
Pantauan Parboaboa, ketika gamelan dimainkan, para pemain kuda kepang mulai berkumpul dan membentuk lingkaran di sekitar wadah pembakaran kemenyan.
Sementara itu, beberapa pemain lainnya mulai menari di atas replika kuda yang terbuat dari anyaman bambu, bergerak seirama dengan denting gamelan.
Sesaat kemudian, satu per satu, pemain kuda kepang ini tiba-tiba seperti kejang sambil berteriak keras. Polin, yang melihat ini segera menghampiri pemain yang kerasukan.
Dengan tenang, dia mengelus tubuh para pemain, mencoba menenangkan dan mengendalikan energi yang merasuki tubuh mereka.
Sudah satu tahun Polin dipercaya sebagai koordinator pemain kuda kepang di Paguyuban Seni Langgeng Budoyo yang dipimpin oleh Amir Hamzah.
Di bawah bimbingan dia, para pemain tampak lebih terarah. Meskipun suasana terlihat agak mencekam dengan bau kemenyan yang semakin pekat, pertunjukan ini tetap berlangsung dengan lancar.
Polin selalu bergerak ke sana kemari, memastikan setiap pemain bisa menampilkan yang terbaik dan menjaga agar energi 'Endang' tetap terkendali.
Saat pertunjukan sedang berlangsung, suara penonton memecah ketegangan. Anak-anak bahkan tidak canggung duduk di dekat para pemain yang sudah kerasukan dan menari-nari. Mereka malah terlihat antusias, tertawa dan bertepuk tangan mengikuti irama gamelan.
Namun, suasana berbeda terlihat di sebelah selatan, di mana penonton didominasi kaum perempuan dan ibu-ibu. Mereka tampak tegang Ketika pemain kuda kepang menghampiri mereka.
"Takut sebenarnya lihat mata yang kerasukan itu melotot, tapi penasaran juga," kata Anggi diiringi tawa kecil.
Melestarikan budaya yang mulai terlupakan
Pertunjukan kuda kepang merupakan respons atas arus modernisasi yang secara perlahan menggeser kebiasaan masyarakat. Bahkan ada kecenderungan kesenian kuda kepang semakin tidak diminati dan dipahami sebagai warisan budaya yang berharga.
Paguyuban Seni Langgeng Budoyo khawatir dengan fenomena ini, terutama karena beberapa kebudayaan Indonesia seperti wayang kulit atau Reog pernah diklaim oleh negara lain.
"Jangan sampai anak cucu kita ini tidak mengerti kebudayaan dan asal usulnya, itu berbahaya," ujar pimpinan Paguyuban Seni Langgeng Budoyo, Amir Hamzah kepada Parboaboa.
Amir, yang lahir di Yogyakarta, merasa terpanggil menghidupkan tari kuda kepang di Simalungun bermula saat ia berkunjung ke rumah kerabatnya dan melihat gamelan dan gendang yang kurang terawat.
Dengan kemampuan memainkan gamelan yang ia pelajari di Yogyakarta, ia lalu berinisiatif mendirikan paguyuban dan mengajak kerabatnya itu untuk bergabung.
Usaha pria yang fasih berbahasa Jawa keraton ini tidak sia-sia. Pada tahun 2022, pegiat seni lainnya tertarik untuk bergabung dan mulai rutin latihan setiap malam minggu di rumah Amir.
Dengan semangat dan tekad yang kuat, mereka lalu memperbaiki peralatan kesenian satu per satu, mulai dari gamelan, gendang, hingga gong.
Paguyuban Seni Langgeng Budoyo tidak hanya menampilkan seni kuda kepang. Amir mengatakan mereka juga mementaskan Ludruk, seni drama tradisional dari Jawa Timur yang diperankan oleh sekelompok orang di panggung terbuka.
Namun begitu, usaha Amir dan kawan-kawan melestarikan kebudayaan Jawa di tanah Simalungun bukan tanpa tantangan. Mereka menghadapi banyak kendala terutama untuk biaya operasional.
Untuk menutupi ini, ia secara terpaksa membuka kotak donasi dari penonton setiap kali ada pertunjukan seni.
"Donasi yang kami kumpulkan untuk membiayai sewa kendaraan yang mengangkut alat-alat, dan kebutuhan yang lain," katanya.
Walau begitu, Amir tidak berharap banyak dari donasi penonton. Baginya, kehadiran penonton lebih berharga daripada uang.
Saat ini, keinginan Amir melestarikan kebudayaan mendapat dukungan moril dari pemerintah desa setempat, Desa Bukit Rejo. Amir berharap dukungan ini akan terus berdatangan dan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Daerah.
Kepala Desa Bukit Rejo, Wiyadi Suwondo, saat ditemui Parboaboa mengatakan bahwa pemerintah desa hanya mampu memberi dukungan moril. Jika ada bantuan materiil, itu berasal dari uang pribadinya.
Wiyadi berharap Pemerintah Kabupaten memperhatikan keberlangsungan Paguyuban Langgeng Budoyo dan komunitas seni lainnya agar generasi penerus bisa terus melestarikan budaya.
"Kami yakin dengan begitu perlahan paguyuban ini akan lebih baik," ujarnya.
Editor: Gregorius Agung