PARBOABOA – Sepak bola China dalam beberapa tahun terakhir benar-benar mencuri perhatian penikmat sepak bola dunia. Tim-tim di sana berani mendatangkan pemain-pemain kelas dunia dengan harga yang tak masuk akal. Bahkan, gaji-gaji yang diberikan pun tentu tidak bisa diterima oleh nalar.
Tim-tim China bisa dengan mudahnya mengeluarkan uang untuk mencari para pemain incaran mereka. Bukan satu kali saja, mereka bisa mengeluarkan dana dalam jumlah banyak tersebut berkali-kali.
Mereka seperti mempunyai pohon uang yang selalu menghasilkan uang-uang tersebut dalam jumlah tak terbatas bahkan bisa mendapatkan dana tersebut kapan pun mereka mau.
Jika melihat dari apa yang terjadi, tim-tim di China saat ini tidak pernah merasa takut untuk bersaing dengan klub elite Eropa dalam mendapatkan seorang pemain kelas dunia. Hal ini dikarenakan mereka memliki kekuatan dari segi finansial yang tak terbtas.
Bahkan bisa dikatakan uang yang dimiliki oleh klub-klub China melebihi beberapa tim top Eropa.
Tetapi dari fenomena sepak bola China ini muncul beberapa pertanyaan besar di pikiran para penikmat sepak bola seperti mengapa mereka berani membayar mahal pemain sepak bola Eropa? Dari mana uang-uang tersebut berasal? Dampak apa saja yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut?
Mengapa China berani membayar mahal untuk pemain sepak bola Eropa
Mantan penggawa West Ham United, Marlos Harewood, menyampaikan alasan mengapa China ‘royal’ dalam menghambur-hamburkan uang demi memuaskan keinginan akan pesepakbola hebat di negerinya.
Menurutnya, selain faktor uang, klub benar-benar akan ‘melayani’ superstar-nya dengan sebaik-baiknya.
“Pengalaman saya (bermain di China) sangat luar biasa. Tim yang saya bela benar-benar memperhatikan saya,” ujarnya seperti dilansir BBC Radio 5.
“Ada banyak uang di China. Mereka memandang Liga Inggris sebagai yang terbaik, mereka ingin memindahkannya ke negara mereka. Cara terbaik untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mendatangkan (pemain) yang terbaik,” sambungnya lagi.
Harewood lantas mengakui bahwa standar sepak bola di China memang sangat tinggi. Pesepakbola di negeri tirai bambu pun menurut mantan penyerang Guangzhou R&F pada tahun 2011 itu memiliki kualitas yang tak kalah baik.
“Standar sepak bola mereka sungguh tinggi. Mereka juga memiliki banyak pemain hebat. Gaji yang akan diterima para pemain Eropa sangatlah fenomal, saya tidak heran,” tutup Harewood.
Investasi besar-besaran yang dilakukan para konglomerat China
Sepak bola China sebenarnya tidaklah langsung bergelimangan uang seperti ini. Ada proses panjang yang mereka lewati hingga mampu sampai ke tahap ini. Sepak bola China pernah berada di titik terendah. Mereka ditinggalkan oleh masyarakat China yang terkenal fanatik akan sepakbola.
Ditinggalkannya sepak bola di negeri sendiri oleh masyarakat China disebabkan oleh semakin muaknya mereka terhadap segala kemunafikan di sepak bola negeri tersebut. Kemunafikan tersebut berbentuk korupsi dan pengaturan skor.
Pada awal abad ke-21 ini, sepak bola China memang benar-benar dihujani kasus korupsi dan pengaturan skor. Semua elemen yang ada di sepak bola ikut terlibat, baik itu wasit, para pemain, pemilik klub maupun para pimpinan federasi sepak bola China.
Sampai akhirnya pada tahun 2009, didirikanlah sebuah gerakan untuk memberantas segala praktek korupsi dan pengaturan skor di negeri tirai bambu tersebut. Gerakan ini menganut prinsip kelicikan harus dibalas dengan kelicikan.
Mereka melakukan semacam penangkapan terencana terhadap para pelaku sepak bola yang terlibat kasus korupsi dan pengaturan skor. Mereka juga memaksa orang-orang yang tertangkap tersebut menyebutkan nama-nama lain yang juga ikut terlibat.
Media pun ikut membantu gerakan ini dengan menyangkan secara langsung pengakuan dari para pelaku tersebut.
Pemberantasan kasus korupsi dan pengaturan skor di sepak bola China semakin terbongkar sampai ke akar-akarnya pada tahun 2013. Presiden China, Xi Jinping, yang merupakan seorang penggila bola, memerintahkan KPK China untuk menyelidiki segala kasus korupsi dan pengaturan skor yang terjadi di sepak bola China.
Hasil dari pemberantasan ini pada tahun 2013 mendapatkan sekitar 33 orang pelaku sepak bola yang dihukum seumur hidup tidak boleh aktif di sepak bola oleh federasi sepak bola China. Pada tahun sebelumnya ada sekitar 50 orang pelaku yang dimasukkan ke penjara akibat kasus korupsi dan pengaturan skor ini.
Setelah aksi bersih-bersih tersebut, mulailah sepak bola China menunjukkan pamornya. Semakin menguatnya ekonomi China di dunia dan semakin seriusnya pemerintah China dalam memperbaiki sepak bola membuat para konglomerat-konglomerat negeri tirai bambu tidak ragu menginvestasikan uang mereka ke dalam sepak bola China.
Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan-perusahaan China yang mengakuisisi tim-tim Liga Super China (CLS), seperti Evergrande Group dan Alibaba yang mengakuisisi Guangzhou Evergrande, Suning Group mengakuisisi Jiangsu Suning, dan Greenland Holdings mengakuisisi Shanghai Greenland Shenhua.
Keberadaan para konglomerat dengan uang yang tidak terbatas tersebut berhasil membuat sepak bola China sejajar dengan kompetisi-kompetisi top Eropa. Ini terbukti dari data transfermarkt, sejak musim 2013/2014 sampai 2016/2017, Liga Super China sudah mengeluarkan uang hampir 1 miliar euro (Rp15 triliun kurs saat ini). Angka ini hanya kalah dari lima liga top eropa yaitu Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, Liga Jerman dan Liga Prancis.
Investasi-investasi yang dilakukan para konglomerat tersebut juga sejalan dengan target ambisius pemerintah China yang bertujuan ingin menciptakan industri olahraga senilai 800 miliar dolar (Rp11 triliun) atau 1% dari PDB mereka pada tahun 2025.
Pemerintah China sudah memasang target yang cukup besar ke depan, jadi jangan heran ketika perputaran uang di sepak bola China semakin berkembang di kemudian hari.
Dampak yang DItimbulkan dari Kebijakan Tersebut
Kebijakan yang dilakukan sepak bola China dalam beberapa tahun terkahir ini pasti memberikan dampak berbeda bagi setiap klub.
Ada yang berdampak positif dan tidak jarang juga mengakibatkan sesuatu yang merugikan, seperti bangkrut.
Dampak Positif
Dengan kebijakan transfer yang dilakukan beberapa tim Liga Super China untuk mendatangkan para pemain Eropa, tentu berdampak positif bagi pamor klub dan kompetisi.
Salah satu contoh kebijakan transfer yang dilakukan klub China yang berdampak positif adalah Hulk.
Hulk merupakan eks bintang Zenit St Petersburg yang terkenal dengan kecepatan dan tembakan kerasnya. Ia dibeli oleh Shanghai SIPG dengan harga 47,43 juta poundsterling (Rp871 miliar kurs saat ini) dan masuk ke daftar 50 transfer termahal versi Transfermarkt.
Kedatangan Hulk ke Liga Super China membuat masyarakat negeri China semakin bersemangat untuk menonton pertandingan.
Hal ini berdampak positif terhadap pemasukan dan antusias penonton yang hadir ke stadion untuk menyaksikan langsung pertandingan tim yang disukanya.
Musim kedua kedatangan Hulk ke Shanghai SIPG memberikan gelar juara Liga Super China untuk tim tersebut.
Di musim berikutnya, tim-tim China mulai berani mendatangkan para pemain-pemain top Eropa lainnya, seperti Oscar, Alex Teixeira, Jackson Martinez, Axel Witsel, Carlos Tevez, John Obi Mikel, Marko Arnautovic, Yannick Carrasco dan masih banyak nama lainnya.
Dampak Negatif
Kebijakan transfer yang tidak masuk akal di sepak bola China juga memiliki dampak negatif. Salah satu dampak negatif dari kebijakan tersebut adalah kurang sehatnya kompetisi.
Kurang sehatnya kompetisi disini berarti hanya tim yang dengan finansial tak terbatas saja yang akan mampu bersaing mendatangkan para pemain top Eropa, sedangakan tim yang minim keuangan hanya bisa menggunakan pemain lokal atau pemain luar dengan kualitas rendah.
Selain kurang sehatnya kompetisi, dampak negatif dari membayar mahal pemain sepak bola Eropa adalah bangkrutnya sebuah tim karena tidak mampu membayar gaji dan biaya operasional.
Salah satu contoh kasus tim Liga Super China yang mengalami kebangkrutan adalah Tianjin Tianhai.
Tianjin Tianhai pernah mendatangkan Alexandre Pato dan Axel Witsel dan lolos ke Liga Champions Asia pada tahun 2016 lalu. Namun karena situasi keuangan klub tidak dapat mendukung operasional, maka Tianjin Tianhai memutuskan keluar dari liga dan bubar pada 12 Mei 2020.