PARBOABOA, Simalungun - Kasus kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) memasuki tahap persidangan.
Pihak Pengadilan Negeri (PN) Simalungun pada Senin (10/06/24) menggelar sidang untuk mencerna pembelaan dari pihak terdakwa.
Hasilnya, nota keberatan atau eksepsi yang diajukan kuasa hukum Sorbatua ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim.
Ketua Majelis Hakim PN Simalungan, Desy Ginting beralasan, syarat formil yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah lengkap dan jelas.
"Dakwaan yang disampaikan JPU lengkap dan jelas," ungkapnya membacakan keterangan.
Sementara di luar sidang, puluhan masyarakat adat Dolok Parmonangan melangsungkan ritual untuk mengawal persidangan tetua adat keturunan Ompu Umbak Siallagan itu.
Mereka memohon berkat leluhur untuk membebaskan Sorbatua dan mengharapkan agar PT TPL menutup proyek yang merusak lingkungan.
Para demonstran yang sejak pagi hari memenuhi pelataran PN Simalungan membakar kemenyan dan sajian pangurason, serta tak henti mendaraskan doa .
Salah seorang keturunan Ompu Umbak Siallagan, Bonar Siallagan, memimpin ritual adat dengan memanjatkan doa-doa dalam bahasa batak.
Bonar menyebut, tujuan dari ritual adat tersebut yaitu agar PN Simalungun berlaku adil dalam menangani kasus kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan.
"Supaya mereka berlaku adil dalam menangani perkara ini," ungkapnya, Senin (10/06/2024).
Dengan sajian pangurason, pihak pengadilan diminta membebaskan Sorbatua dari segala tuntutan yang didakwakan kepadanya.
Pangurason, menurutnya dapat dimaknai sebagai bentuk pelestarian alam dan hidup bersahabat dengan alam serta menjauhkan diri dari bencana.
“Pangurason itu untuk melestarikan alam dan bentuk persahabatan kita dengan alam,” ujarnya.
Senada, salah seorang massa aksi, Neni Siallagan, menyuarakan kegelisahannya dalam lantunan puisi.
Wanita yang juga tergabung dalam perempuan adat Dolok Parmonangan melantunkan puisinya bertajuk ‘Surga Tanpa Merdeka’.
“Dengan dalil menegakkan keadilan, di sebuah negeri yang berdaulat, mereka mempergunakan cara setan hingga membuat semua orang menjadi penjilat,” bunyi bait pertama puisinya.
Neni bermaksud menyinggung realitas penegakkan hukum yang amburadul di Indonesia, terkhusus dugaan kecurangan yang mungkin terjadi atas diri Sorbatua.
“Politik hanya dijadikan alat pemuas nafsu. Setelahnya, hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Pepatah itu memang ada, tergambar dan terpampang,” bunyi bait selanjutnya.
Secara eksplisit, ia hendak menegaskan bahwa orang-orang yang suka bermain dengan hukum akan mendapat imbalan di akhir hidupnya.
“Lihat, Tuhan menghukum dengan seadil-adilnya; hal yang kelak membuat kalian tak mungkin berbicara. Bangkitlah wahai keadilan di negeri ini,” teriaknya sekali lagi.
Dengan membacakan puisi tersebut, ia berharap agar hukum ditegakkan seadil-adilnya.
Ia meminta leluhur dan nenek moyangnya untuk hadir dan mendampingi seluruh proses sidang yang menyeret Sorbatua.
Rangkaian demonstrasi berlangsung damai dan mendapat pengawalan ketat dari Kepolisian Resort (Kapolres) Simalungun.
Kasat Samapta Polres Simalungun, AKP Lambok Gultom mengatakan pihaknya berkomitmen memberi rasa aman dan nyaman bagi para pengunjuk rasa.
"Sehingga mereka dapat menyampaikan aspirasi mereka dengan damai dan tidak anarkis,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA.
Editor: Defri Ngo