PARBOABOA, Jakarta - Hingar-bingar kemeriahan Bulan Pendidikan tahun ini ternodai oleh kebijakan terkait biaya kuliah yang semakin tinggi.
Bagaimana tidak, baru-baru ini, sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) menerbitkan aturan baru terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Kebijakan ini ditolak oleh mahasiswa. Mereka melakukan aksi protes dan menyampaikan keberatan dengan kebijakan tersebut.
Aksi protes berlangsung di Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Sumatera Utara, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Riau, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Sumatera Utara (USU) serta universitas lainnya.
Ketua Umum Gen KAMI (Gerakan Komunitas Aktivis Milenial Indonesia) Ilham Latupono, menolak keras aturan kenaikan uang kuliah ini.
Menurut Ilham, kenaikan UKT ini bagian dari pengkhianatan pimpinan kampus terhadap visi nasional Indonesia Emas 2045.
"Bukannya menyediakan pendidikan murah, para rektor justru menaikkan uang kuliah,” ujarnya kepada media pada Rabu, (15/05/2024).
Ilham mengaku khawatir, jika kenaikan UKT kampus negeri ini akan berimbas terhadap nasib generasi emas sebagai pewaris utama masa depan Indonesia.
Mahasiswa hari ini jelasnya, akan menjadi pimpinan bangsa dan negara ini di tahun 2045. Jika mereka putus kuliah karena kenaikan UKT, lantas bagaimana masa depan bangsa ini.
Respon Pemerintah
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, angkat bicara soal aksi demonstrasi mahasiswa tersebut.
Menurut Tjitjik, aksi protes itu hanya terjadi di sebagian kecil PTN di Indonesia, tidak berlangsung di seluruh kampus.
Dia menjelaskan, sebagian besar perguruan tinggi tidak bermasalah. Jadi harapnya, jangan digeneralisasi.
"Jangan dikira seluruh PTN-BH itu UKT-nya tinggi. Nggak," ujarnya di Jakarta pada Rabu, (15/05/2024).
Tjitjik mencontohkan Universitas Airlangga (UNAIR). Dia menyebut UNAIR sebagai salah satu universitas yang aman.
UNAIR jelasnya, tidak menambah kelompok UKT. UKT yang tertinggi di UNAIR juga baru mendekati Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Karena itu, menurut Tjitjik, kondisi ini sangat bergantung pada strategi yang diterapkan di setiap perguruan tinggi.
Lebih lanjut Tjitjik menjelaskan bahwa Kemendikbudristek hanya mengutamakan pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, yaitu SD, SMP, dan SMA.
Dia menerangkan, penyelenggaraan pendidikan itu harus memenuhi standar mutu karena itu biayanya juga harus dipenuhi.
"Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," ujarnya.
Tertiary education atau pendidikan tersier merupakan pendidikan setelah tingkat menengah atas, seperti politeknik, akademi, universitas, dan institut.
Lulusan SMA atau sederajat sambungnya, yang ingin masuk ke perguruan tinggi merupakan pilihan dari individu tersebut. Jadi tidak bisa digratiskan.
Namun, dia menjamin, Kemendikbudristek juga tetap mengucurkan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) sebagai bantuan biaya dari pemerintah untuk PTN yang kekurangan biaya operasional pendidikan.
"Apa konsekuensinya karena ini adalah tertiary education? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Karena itu amanat undang-undang. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri yang kita sebut dengan BOPTN."
Adapun BOPTN digunakan untuk membayarkan biaya kuliah tunggal (BKT) yang sudah ditetapkan oleh perguruan tinggi.
Namun karena jumlah BKT dari masing-masing perguruan tinggi beragam, dia menerangkan bahwa BOPTN tidak dapat membiayai sepenuhnya BKT.
Namun disini tetap ada peluang persoalan. Sebab, jika berlandaskan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024, maka UKT yang bisa diatur hanya mencakup 2 tingkat dengan rincian Rp 0 sampai Rp 1 juta.
UKT 1 jumlahnya Rp 0 sampai Rp 500 ribu. Kemudian UKT 2 berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta.
Ini berlaku hanya untuk masyarakat kurang mampu dan hanya 20 persen yang berhak masuk kriteria ini dari mahasiswa baru yang ada.
Sehingga menurutnya bantuan BOPTN ke perguruan tinggi selama ini belum bisa mencakup seluruh kebutuhan operasional kampus.
Karena itu diperlukan peran serta masyarakat, “kita sebutnya ini gotong royong untuk mendidik bangsa ini," jelas Tjitjik.
Kemendikbudristek Lepas Tangan
Wakil ketua umum Vox Point Indonesia, bidang Pendidikan, Indra Charismiadji menyayangkan sikap pemerintah yang mengatakan bahwa mahalnya UKT disebabkan karena perguruan tinggi bukanlah wajib belajar.
Menurut Indra, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Kemendikbudristek seolah lepas tangan dari ketidakmampuannya mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Berulang kali saya mengingatkan bahwa pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," jelasnya kepada PARBOABOA, Rabu (15/05/2024).
Jadi menurutnya, walaupun pendidikan tinggi bukan bagian dari wajib belajar, tetapi tidak tepat jika pemerintah punya pemikiran untuk berdagang layanan pendidikan dengan rakyatnya sendiri.
Dia pun mendorong untuk dievaluasi anggaran 665 triliun setiap tahun itu hasilnya apa. Membaca, matematika, sains, hasilnya salah satu yang terburuk di dunia kalau mengacu pada PISA.
"Sekarang kuliah mahal dan bahkan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah." Sedihnya lagi sambungnya, pejabat yang tidak sadar kalau kebijakannya itu melanggar HAM.
Sebab di artikel 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa pendidikan tinggi harus terbuka aksesnya berdasarkan meritokrasi, artinya berdasarkan prestasi, kinerja, dan bukan karena uang.
Kemudian Indra menjelaskan bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia itu hanya Rp75 juta per tahun.
Hal ini tentu akan sangat kesulitan untuk membayar Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal yang mencapai Rp 75 juta ke atas.
Apalagi sambungnya, ditambah dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menyentuh angka di atas Rp20 juta per semester.
Menurutnya, pemerintah boleh berdalih bahwa ada KIP Kuliah untuk masyarakat miskin, yang jadi masalah adalah masyarakat berpenghasilan menengah yang tidak mungkin bisa membayar biaya kuliah anak-anaknya.
Indra memaparkan ada dua masalah utama, mengapa biaya kuliah di Indonesia mahal.
Pertama, mindset pembuat kebijakan mengelola pendidikan dengan mekanisme pasar alias neoliberalisme.
“Amerika yang negara kapitalis saja tidak mengelola pendidikan dengan mekanisme pasar,” terangnya.
Tetapi negara katanya, benar-benar hadir untuk memastikan warga negaranya mendapatkan akses pendidikan seluas mungkin untuk dapat membangun bangsa.
Kedua, Pemerintah belum menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat riset. Sebagaimana dituangkan dalam pasal 31 ayat 5 UUD '45.
Di negara lain biaya kuliah menjadi terjangkau, karena 70% anggaran perguruan tinggi asalnya dari dana riset, sisanya baru dari mahasiswa. Di Jerman bahkan bisa biaya kuliah gratis.
“Di sini justru dengan dorongan menjadikan PTN berstatus PTN BH, mereka semua diharapkan berbisnis dan cari profit setinggi-tingginya sehingga subsidi pemerintah berkurang. Ini yang saya sebut Neoliberalisme Pendidikan," jelas Indra.
Indra pun berharap, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi dan menata ulang sistem pendidikan nasional yang faktanya jauh dari amanat UUD 1945.
Indonesia secara nasional akan beralih ke kepemimpinan baru termasuk para wakil rakyat yang baru.
Tentu saja ini momentum untuk mendorong agar segera dilakukan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional yang diawali dengan penyusunan Cetak Biru Pendidikan Indonesia.
Editor: Norben Syukur