Penghapusan Jurusan di SMA Menuai Kontroversi: Keputusan Bijak atau Sekadar Sensasi Politik?

Kemendikbudristek akan menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

PARBOABOA, Jakarta - Keputusan untuk menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) menuai perbincangan luas.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) beralasan, keputusan ini menjadi bagian dari penerapan Kurikulum Merdeka.

Tujuannya adalah memberikan fleksibilitas kepada siswa dalam memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan rencana karir mereka.

Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menyatakan bahwa hingga tahun ajaran 2022, sekitar 50 persen sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. 

"Ini adalah langkah nyata dalam Implementasi Kurikulum Merdeka," ujarnya dalam sebuah keterangan pada Kamis (18/07/2024).

Penghapusan jurusan didorong oleh berbagai alasan. Salah satunya adalah fokus pada minat siswa. 

Kemendikbudristek mencontohkan, siswa yang berminat melanjutkan studi di bidang teknik akan mendapatkan waktu tambahan untuk mempelajari Fisika dan Matematika. 

Sementara itu, siswa yang tertarik pada bahasa atau budaya akan mendapatkan tambahan pelajaran seperti Sosiologi dan Bahasa Indonesia.

Alasan lain adalah menghilangkan privilege jurusan IPA. Sebelum kebijakan ini, siswa dari jurusan IPA memiliki keuntungan lebih besar dalam memilih program studi di perguruan tinggi, termasuk yang seharusnya untuk jurusan IPS dan Bahasa. 

Dengan penghapusan jurusan, keistimewaan ini dihilangkan sehingga memberikan kesempatan yang merata bagi semua siswa untuk mengeksplorasi minat mereka.

Terakhir, Kemendikbudristek bermaksud menghilangkan diskriminasi terhadap siswa yang tidak memilih jurusan IPA. 

Selama ini, jurusan IPA dianggap lebih prestisius dan diinginkan banyak orang tua/wali murid. 

Dengan dihapuskannya jurusan, siswa akan berkompetisi di perguruan tinggi berdasarkan apa yang telah mereka pelajari, tanpa adanya pandangan kasta yang lebih rendah untuk jurusan IPS dan Bahasa.

Anggota Komisi X DPR, Zainuddin Maliki, menyatakan tidak memiliki keberatan terhadap keputusan Kemendikbudristek yang resmi menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA dan sederajat.

Menurutnya, langkah ini adalah bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang kini diadopsi sebagai Kurikulum Nasional.

Zainuddin mengungkapkan bahwa pihaknya telah sepakat dengan pelaksanaan kurikulum ini secara bertahap, termasuk penghapusan jurusan-jurusan tersebut.

"Jika penerapannya berjalan dengan baik, bimbingan dalam mengenali minat dan bakat akan menjadi lebih optimal," jelas Zainuddin pada Selasa (17/07/2024).

Namun, ia juga menyoroti potensi tantangan dari penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Menurutnya, menentukan minat dan bakat bukanlah hal yang mudah bagi siswa.

Ia menambahkan, siswa yang umumnya berada dalam usia remaja, sesungguhnya sedang dalam proses mencari jati diri. 

Kadang-kadang, sesuatu yang mereka minati mungkin bukanlah minat mereka yang sebenarnya.

"Usia remaja adalah masa pencarian dan pembentukan diri. Kadang-kadang, apa yang diminati hari ini bisa saja berubah di masa depan," ungkapnya.

Meski demikian, Guru Besar di Universitas Airlangga Surabaya ini percaya jika keputusan ini diterapkan dengan benar, hasilnya akan memberikan dampak positif. 

Siswa akan fokus pada bidang yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Sensasi Nadiem di Akhir Jabatan?

Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji pada Kamis (18/07/2024) lalu, menilai penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa hanyalah sensasi Mendikbudristek Nadiem Makarim di akhir masa jabatannya.

"Sensasi di akhir masa jabatan," ujar Ubaid ketus.

Ubaid mengkritik keputusan Kemendikbudristek yang resmi menghapus jurusan tersebut dan menganggapnya dilakukan secara tergesa-gesa tanpa kajian yang jelas.

Menurut Ubaid, diperlukan diskusi dengan berbagai pihak seperti guru, masyarakat sipil, orang tua, hingga Dinas Pendidikan sebelum mengambil keputusan penting seperti ini.

"Jangan kebijakan itu tiba-tiba muncul. Kecuali memang hanya untuk sensasi. Apalagi di akhir pemerintahan. Jika menteri baru tidak setuju, kebijakan ini pasti akan diubah lagi. Akibatnya, peserta didik selalu menjadi korban," tuturnya.

Ubaid juga mempertanyakan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan dievaluasi di lapangan.

"Pemerintah kerap menerbitkan kebijakan yang sulit diimplementasikan karena pengukuran yang kurang efektif," tambahnya.

Ia mencontohkan bahwa pada awal penerapan Kurikulum Merdeka, pemerintah menyatakan peserta didik tidak diharuskan mempelajari semua mata pelajaran. 

Namun, di lapangan, siswa tetap harus membawa banyak buku dan mempelajari semua mata pelajaran.

"Jadi, janganlah publik disuguhi kebijakan dadakan yang tidak jelas teknis pelaksanaannya serta tujuan yang ingin dicapai," pungkas Ubaid.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS