Potensi Konflik Kepentingan Seleksi Capim dan Dewas KPK 2024 

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. (Foto: PARBOABOA/Rian)

PARBOABOA, Jakarta - Sebanyak 20 calon pimpinan (Capim) KPK dan 20 Dewan Pengawas (Dewas) dari berbagai latar belakang, lolos seleksi profile asesment

Seleksi ini merupakan bagian dari proses pemilihan pimpinan dan Dewas lembaga antirasuah untuk periode 2024-2029.

"Masing-masing untuk Dewas ada 20 dan Capim ada 20 calon," kata Ketua Pansel KPK, Muhammad Yusuf Ateh di Jakarta, Rabu (11/9/2024).

Selanjutnya, para peserta yang dinyatakan lolos akan mengikuti tahapan wawancara dan tes kesehatan fisik pada 17-18 September 2024. 

Tahapan ini, kata Yusuf, dilakukan untuk memastikan para calon siap menjalankan tugas di KPK dengan baik dan bertanggung jawab.

Sebagai informasi, seleksi profile assessment Capim dan Dewas KPK diadakan pada 28-29 Agustus 2024, dengan peserta masing-masing, 40 orang dari Capim dan 40 dari Dewas.

Dari mereka lolos, beberapa nama merupakan wajah lama, yaitu, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, Deputi Pencegahan dan Monitoring, Pahala Nainggolan, dan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Wawan Wardiana.

Namun, lolosnya tiga nama ini mendapat kritikan keras dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).

Ketua PBHI, Julius Ibrahim mengatakan, ketiganya sarat dengan konflik kepentingan dan diduga kuat terlibat dalam sejumlah pelanggaran kode etik.

Johanis Tanak, misalnya, dikabarkan pernah bertemu dengan tersangka kasus suap di Mahkamah Agung dan mengirim pesan kepada pejabat Kementerian ESDM yang tengah diperiksa KPK.

Kata Julius, ini, "menimbulkan konflik kepentingan KPK dan Kementerian ESDM."

Pahala Nainggolan juga disebut memiliki masalah setelah mengeluarkan surat klarifikasi dan konfirmasi pada tahun 2017 yang diduga menguntungkan salah satu pihak dalam proyek panas bumi. 

Sementara itu, Wawan Wardiana pernah menuai kritik karena menyebut koruptor sebagai 'penyintas' dan berencana melibatkan mereka sebagai penyuluh di lembaga pemasyarakatan.

Selain PBHI, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengkritik beberapa kandidat petahana yang lolos seleksi. 

Menurut peneliti ICW, Diky Anandya, beberapa nama yang dinyatakan lolos masih memiliki persoalan terkait kompetensi dan integritas, termasuk Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan. 

Selama kepemimpinan Johanis di KPK, kata dia, citra lembaga tersebut dinilai semakin buruk di mata publik. Ada kekhawatiran dengan meloloskan kembali figur seperti ini hanya akan mengulangi masalah yang sama.

"Jika gaya dan model kepemimpinan seperti itu, untuk apa diloloskan," kata Diky.

Karena itu, ICW menilai Panitia Seleksi KPK belum maksimal dalam menggali rekam jejak para kandidat. Padahal, banyak sumber informasi yang bisa digunakan untuk mengevaluasi rekam jejak tersebut, termasuk dari Dewas KPK.

Mereka Yang Tak Lolos

Dari beberapa nama yang dinyatakan tak lolos profile asesment, beberapa diantaranya merupakan mantan pejabat publik dan mantan pimpinan KPK.

Mereka antara lain, eks Menteri ESDM sekaligus aktivis antikorupsi, Sudirman Said dan eks penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Sudirman Said menanggapi singkat ihwal tak lolosnya ia dalam seleksi Capim KPK. Ia mengatakan, dirinya tetap bersyukur karena telah mendapat dukungan banyak pihak.

"Terima kasih atas dukungan rekan-rekan selama proses seleksi," ujarnya, Rabu (11/9/2024).

Namun begitu, Sudirman tetap memberikan semangat kepada 20 kandidat Capim KPK yang berhasil melaju ke tahap berikutnya. 

Ia berharap pada akhir seleksi nanti, terpilih pemimpin yang mampu memulihkan kredibilitas lembaga antirasuah ini. 

Menurut Sudirman, KPK memerlukan pemimpin yang kuat dan berintegritas untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Sebelum memutuskan untuk mendaftar sebagai Capim KPK, Sudirman mendapat dukungan dari berbagai tokoh dan aktivis antikorupsi di Indonesia. 

Beberapa di antaranya adalah kelompok IM57+ Institute, Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, serta mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md. 

Pada intinya, mereka mengapresiasi komitmen Sudirman terhadap pemberantasan korupsi.

Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugraha mengungkap, keberanian Sudirman Said terbukti saat ia berani melawan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam skandal 'Papa Minta Saham.' 

Walaupun perlawanan tersebut menyebabkan dirinya dicopot dari jabatan Menteri ESDM, tapi pada akhirnya Setya Novanto terbukti terlibat dalam korupsi. 

Itulah sebabnya Praswad memandang Sudirman sebagai sosok yang jujur dan anti-korupsi sehingga pantas didorong menjadi pimpinan KPK.

Feri Amsari juga menyuarakan dukungannya untuk Sudirman Said dalam memperbaiki KPK. Menurutnya, banyak calon yang berintegritas, namun belum tentu berani dan teruji ketika menghadapi kekuatan politik. 

Feri menilai bahwa Sudirman Said adalah figur yang berani, berintegritas, dan telah terbukti mampu menghadapi tantangan besar dalam perjuangan melawan korupsi.

Tidak seperti Sudirman Said, Novel Baswedan dinyatakan tidak lolos sejak awal pendaftaran Capim KPK. Ia harus terbentur dengan syarat usia minimal 50 tahun saat mendaftar.

Adapun saat ini Novel baru berusia 47 tahun. 

Merasa dirugikan oleh aturan tersebut, Novel dan beberapa pegiat antikorupsi mengajukan uji materi UU a quo ke MK.

Namun Per Kamis, (12/9/2024) MK memutuskan menolak seluruh gugatan itu. 

Dalam putusannya, Ketua MK, Suhartoyo menyatakan, perubahan batas usia minimum untuk Capim KPK tidak akan secara langsung mempengaruhi integritas para calon yang mendaftar. 

Menurutnya, masalah integritas dan komitmen lebih bergantung pada karakter pribadi para pimpinan KPK dan seluruh jajarannya, serta bagaimana lembaga ini dikelola secara keseluruhan.

"lebih berkaitan dengan permasalahan komitmen dan integritas, baik secara personal dari pimpinan KPK dan jajarannya maupun secara kelembagaan," kata Hakim Suhartoyo sebagaimana disiarkan oleh oleh Youtube resmi MK.

Dengan putusan MK ini, persyaratan usia bagi Capim KPK tetap tidak berubah. Undang-Undang KPK masih menetapkan bahwa usia minimum capim adalah 50 tahun dan maksimum 65 tahun.

Sebelumnya, dalam permohonan uji materi yang diajukan, para pemohon mengusulkan agar MK mengubah aturan mengenai batas usia tersebut. 

Mereka ingin Pasal 29 huruf e UU KPK diubah, sehingga pegawai KPK yang telah berpengalaman menjalankan fungsi utama pada lembaga ini selama setidaknya satu periode masa jabatan, dapat mendaftar sebagai Capim, meskipun belum mencapai usia 50 tahun.

Novel Baswedan dan rekan-rekannya berpendapat bahwa persyaratan usia minimum 50 tahun dapat membatasi peluang bagi individu dengan kemampuan atau kualifikasi luar biasa untuk menjadi capim KPK. 

Menurut mereka, ada banyak orang di Indonesia yang meskipun belum mencapai usia tersebut, tetapi memiliki potensi dan kemampuan untuk memimpin KPK dan membawa perubahan yang dibutuhkan lembaga tersebut. 

Mereka juga berargumen bahwa calon-calon muda dengan kompetensi tinggi sangat diperlukan untuk melakukan perbaikan di KPK.

Novel Baswedan memulai kiprahnya di KPK sejak tahun 2014 dan telah menorehkan berbagai pencapaian penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Salah satu prestasi awalnya adalah saat ia berhasil memulangkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang sempat melarikan diri ke Kolombia.

Tidak hanya itu, Novel juga berperan penting dalam mengungkap kasus Wisma Atlet yang melibatkan mantan anggota DPR, Angelina Sondakh, serta menjerat Nunun Nurbaeti ke penjara atas kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Keberaniannya lain terlihat ketika ia membongkar praktik jual-beli perkara pemilihan kepala daerah yang menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Sementara itu, sebagai ketua tim penyidik KPK, Novel turut berkontribusi besar dalam mengusut kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan petinggi Polri, seperti mantan Kakorlantas Polri, Irjen Djoko Susilo. Kasus ini bahkan sempat membuat hubungan antara KPK dan kepolisian memanas.

Namun, perjuangannya melawan korupsi tidak selalu berjalan mulus. Pada 11 Maret 2017, Novel diserang oleh orang tak dikenal dengan siraman air keras, menyebabkan kedua matanya mengalami kerusakan serius. 

Hal ini tidak membuat Novel patah semangat. Ia terus mengungkap berbagai kasus besar, seperti korupsi bantuan sosial yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan kasus suap ekspor benur yang menyeret mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Namun, di tahun 2021, langkah Novel kembali terhambat ketika Undang-Undang KPK yang baru mengharuskan seluruh pegawai KPK untuk menjalani tes alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Dalam tes wawasan kebangsaan yang digelar, muncul berbagai pertanyaan kontroversial mengenai isu-isu pribadi dan sensitif. 

Akibatnya, Novel dan 74 pegawai KPK lainnya dinyatakan tidak lulus dan sejak saat itu juga mereka dinonaktifkan dari KPK. 

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS