PARBOABOA, Jakarta - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mendukung rencana pemerintah menaikkan cukai rokok maksimum tujuh persen pada tahun 2023 mendatang.
"Kenaikan cukai rokok memang dibutuhkan untuk memperkuat penerimaan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi kenaikan tersebut perlu dibatasi," kata Anggota Komisi XI DPR RI Amir Uskara seperti dikutip dalam keterangan, Selasa (11/10/2022).
Adapun menurut Amir, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan berdampak signifikan. Dengan demikian, kesempatan kerja di sektor industri hasil tembakau juga akan terkena imbas, mulai dari petani, sektor industri pengolahan tembakau, hingga para pedagang kaki lima.
"Karena itu, untuk tahun 2023 disarankan batas maksimum kenaikan cukai rokok adalah di kisaran tujuh persen," ujarnya.
Lagi pula, jika dasar yang digunakan dalam menaikkan cukai rokok ialah untuk menurunkan prevalensi jumlah perokok, menurutnya, hal itu juga tidak relevan.
Sehubungan dengan hal itu, berdasarkan riset Global Adult Tobacco Survey (GATS) di tahun 2021 yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan, jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang, dari 60,3 juta di 2011 menjadi 69,1 juta perokok di 2021. Sementara itu, selama periode 2011-2021, cukai rokok telah mengalami kenaikan cukup tinggi.
"Jadi, pesan cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi rokok pun makin jauh dari esensi awal cukai sebenarnya," ucapnya.
Senada dengan hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menilai kenaikan tarif cukai rokok wajar bila didasarkan pada pertambahan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Meskipun untuk kepentingan kesehatan, di mata para pegiat antirokok angka tersebut dianggap masih rendah," kata Supratikno seperti dikutip dalam keterangan, Selasa (11/10/2022).
Selanjutnya, Supratikno meminta semua pihak agar memperhitungkan dampak kenaikan terhadap kesempatan kerja dan daya serap tembakau petani. Karena itu, hubungan antara besaran cukai rokok dan penerimaan negara tidak selamanya berbanding lurus.
"Pada suatu titik, kenaikan tarif cukai justru akan menurunkan penerimaan. Fenomena ini sering disebut kurva laffer," ujarnya.
Disamping itu, berdasarkan data jumlah kenaikan cukai rokok relatif tinggi dalam tiga tahun terakhir, di tahun 2020 jumlahnya 23 persen, kemudian tahun 2021 diangka 12,5 persen, dan pada tahun 2022 maksimum 12,5 persen. Khusus kenaikan di 2021 dan 2022 dianggap memberatkan sejumlah pihak di sekitar industri hasil tembakau.
Editor: -