Di bawah Langit Bah Butong II: Kisah Pewarisan Bahasa Jawa di Tengah Gempuran Zaman

Sosok Repince Panggabean dan beberapa masyarakat suku Batak Toba di Desa Bah Butong II yang fasih berbahasa Jawa (Foto: PARBOABOA/Pranoto)

PARBOABOA, Simalungun - Tawa kecil sesekali terdengar saat Repince Panggabean (70) bercerita soal pengalaman masa lalunya. 

Ia adalah perempuan Suku Batak Toba yang menghabiskan separuh hidupnya sebagai pemetik daun teh di sebuah perusahaan perkebunan milik negara di Desa Bah Butong II, Kecamatan Sidamanik.

Secara geografis, Desa Bah Butong II berada satu wilayah dengan Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) unit Kebun Teh. 

Masyarakat yang tinggal di wilayah ini umumnya berasal dari suku Jawa yang telah lama merantau dan menjadi pekerja di perkebunan teh. Sebagian lain telah pensiun dan memilih menetap di situ. 

Uniknya, hampir seluruh masyarakat suku Batak Toba atau Batak Simalungun di wilayah Bah Butong II, begitu fasih berbahasa Jawa. 

Repince sendiri sudah puluhan tahun berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa saat berbincang-bincang dengan warga lainnya, termasuk dengan anak bungsunya, Lengkap Simaremare (50).

"Karena di sini banyak orang Jawa, lama kelamaan jadi ikut bisa bahasa Jawa, " ujarnya kepada PARBOABOA, Sabtu (27/07/2024).

Meskipun begitu, Repince mengatakan tetap memegang teguh adat dan budaya Batak Toba dan tidak pernah mempermasalahkan perbedaan tatanan kesukuan di daerah. 

Baginya, tinggal dengan mayoritas masyarakat suku Jawa tidak lantas membuatnya lupa asal usul. Sebaliknya, ia dituntut membuka diri dan berdialog dengan kekayaan budaya lain.

Saat ditemui PARBOABOA, Sabtu (27/07/2024), Repince bersiap-siap menggelar Partamiangan (doa bersama) di rumahnya. Kebiasaan tersebut lazim dilakukan masyarakat Batak Toba di daerah ini.

Selain Partamiangan, saat perayaan tahun baru, Repince dan masyarakat Batak Toba lain juga berbagi makanan dengan masyarakat suku Jawa. 

Sebaliknya, saat perayaan Idul Fitri, Repince bercerita bahwa dirinya pasti mendapatkan kiriman makanan dari suku Jawa.

Kasidi (68) misalnya, adalah salah satu tetangga Repince. Laki-laki yang telah memiliki 5 orang cucu ini juga pensiunan karyawan perkebunan teh. Keduanya pernah bekerja di satu divisi.

Sejauh ini Kasidi yang merupakan salah satu masyarakat suku Jawa di daerah ini mengaku masih mempertahankan kebiasaan untuk saling berbagi dengan masyarakat suku Batak.

Laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan teh ini mengatakan, perbedaan tatanan keyakinan maupun kesukuan tidak pernah menjadi pemicu lahirnya persoalan.

"Kami nek ngomong karo wong Batak neng kene yo nggae boso Jowo (kami kalau berkomunikasi dengan masyarakat Batak di sini ya pakai bahasa Jawa)," ujarnya kepada PARBOABOA, Sabtu (27/07/2024).

Kasidi bercerita, dalam pertemuan dan komunikasi sehari-hari dengan masyarakat suku Batak, mereka selalu saling terbuka dan tidak pernah ada masalah.

"Serawungan bioso gak pernah eneng masalah (berkumpul bersama, tidak pernah ada masalah)," pungkasnya.

Habitus yang Tergerus

Keterbukaan untuk beradaptasi dan belajar dari sesama yang berbudaya lain tidak hanya menjadi habitus orang tua dan mereka yang telah lama tinggal di Desa Bah Butong II.

Beberapa keturunan yang menempati wilayah tersebut juga turut mengikuti jejak orang tua dan para pendahulu mereka yang berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. 

Putranto (43) misalnya, ialah salah satu teman dekat Lengkap Simaremare, putra bungsu Repince.

Kebiasaannya untuk menggunakan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan Lengkap atau teman suku Batak lainnya, sudah tertanam sejak dirinya masih berusia muda.

Namun belakangan, ia memperhatikan generasi muda di daerahnya sudah mulai meninggalkan kebiasaan baik itu. 

Faktor penyebabnya, kata Putra, jumlah orang tua yang sebaya dengan Kasidi dan Repince sudah semakin sedikit.

"Kebanyakan seusia mereka sudah pindah dari sini karena pensiun," ujarnya.

Faktor lain yang turut mempengaruhi memudarnya kebiasaan ini disebabkan karena kebanyakan generasi seusia Putranto telah meninggalkan kebiasaan berbahasa Jawa dengan anak-anak mereka.

Perubahan sosial yang terjadi di Desa Bah Butong II juga diamini Ketua Paguyuban Langgeng Budoyo, Amir Hamzah. 

Menurut Amir, mewarisi bahasa khas suku di Indonesia khususnya bahasa Jawa, merupakan tanggung jawab moral yang harus terus dilestarikan.

Amir mengaku khawatir, bahasa Jawa akan dilupakan generasi muda suku Jawa jika orang tua mereka saat ini tidak lagi menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.

"Ironisnya, mereka nanti jadi tidak tahu sama sekali bahasa Jawa. Iku seng diomongke pitutur, wong Jowo lali Jowone (itu yang dikatakan orang Jawa lupa dengan Jawanya)," ujar Amir kepada PARBOABOA, Sabtu (27/7/2024).

Bersama sejumlah kelompok kesenian di Kecamatan Sidamanik, Amir kini terus berupaya melestarikan kebudayaan Jawa di Kabupaten Simalungun. 

Mereka giat menggelar pementasan seni Ludruk, pertunjukan seni musik gamelan dan tembang Jawa, dan permainan kuda kepang hampir setiap akhir pekan.

Dengan cara itu, ia berharap tatanan kebudayaan Jawa termasuk bahasanya dapat terus lestari di Bumi Habonaron Do Bona (Simalungun).

"Nek gak kita sopo mene mas, mumpung isek padang rembulanne (kalau bukan kita siapa lagi dik, selagi masih ada umurnya), " kata Amir.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS