PARBOABOA - Di Indonesia, kasus perselingkuhan marak terjadi dalam kehidupan rumah tangga, terutama dikalangan publik figur. Beberapa mungkin berhasil diungkap, baik melalui sosial media ataupun dari kerabat terdekat. Namun, banyak pula yang tidak terdeteksi (main aman).
Perselingkuhan juga memiliki arti yang luas, mencakup komunikasi lisan, tertulis, tatap muka, hingga kasus yang terparah yaitu perzinaan.
Iran dikenal dengan negara yang memberikan hukuman mati bagi pasangan yang melakukan zina. Salah satu kasusnya baru saja terjadi. dimana seorang ayah mendesak pengadilan untuk mengeksekusi menantunya.
Seorang wanita (33) dan pria (27) Iran dijatuhi hukuman mati setelah ketahuan berzinah. Eksekusi dilakukan dengan cara digantung.
Pria tersebut diketahui telah menikah namun berselingkuh dengan wanita lain. Alhasil, ayah mertua pria tersebut menuntut keduanya untuk dieksekusi mati.
Sang istri pria ini sempat mencari jalan keluar untuk membatalkan tuntutan tersebut agar nyawa suaminya selamat.
Namun, ayah sang istri bersikeras menghukum si suami dengan hukuman mati.
Dalam hukum Syariah di Iran, jika keluarga korban memaafkan mereka yang dituduh melakukan kejahatan, mereka dapat diampuni dan hanya diberikan hukuman penjara.
Tetapi ayah wanita itu tidak memaafkan dan justru menuntut agar pria itu dieksekusi karena karena melakukan perselingkuhan.
Di bawah hukum perzinahan secara klasik, biasanya hukuman dapat dilakukan dengan rajam, tetapi Teheran mengubah undang-undang tersebut pada tahun 2013 untuk memungkinkan hakim memilih metode eksekusi.
Kata Arab Syariah awalnya berarti "jalan" dan mengacu pada hukum Tuhan yang diwahyukan.
Terlebih, saat Taliban kembali berkuasa di Afghanistan di tahun ini yang memungkinkan mereka akan membawa interpretasi ekstrem terhadap hukum Syariah dan ditakutkan merambah ke beberapa negara di Timur Tengah dan salah satunya adalah Iran.
Iran sendiri merupakan negara yang memang masih menerapkan hukuman mati.
Organisasi pemerhati HAM Iran Human Rights (IHR) menyatakan bahwa, ada lebih dari 800 orang dieksekusi mati di Iran sejak awal 2015, dengan rata-rata tiga eksekusi per hari.
Dan pada tahun 2021, angka eksekusi mati di Iran terus meningkat.
Selain Iran, beberapa negara yang diatur oleh hukum Islam, seperti Arab Saudi, Pakistan, Somalia dan lainnya melarang keras perbuatan zina atau seks diluar nikah. Hal ini juga berlaku bagi pasangan menikah yang melakukan perselingkuhan.
Hukuman yang diberikan dapat berupa denda, penjara, cambuk,hingga hukuman mati.
Namun, organisasi HAM berpendapat bahwa undang-undang perzinahan ini sering disalahgunakan untuk melawan perempuan yang telah diperkosa.
Di bawah undang-undang tersebut, beban pembuktian ada pada pihak perempuan.
Perempuan harus memberikan bukti bahwa dia diperkosa, jika tidak maka dia akan diadili karena melakukan perzinahan.
Seperti yang terjadi pada tahun 2008 silam, sebanyak 50 pria di Somalia melempari seorang korban perkosaan yang berumur 13 tahun dengan batu hingga tewas.
Perlakuan tersebut dilakukan di bawah undang-undang perzinahan yang ketat.
Dan yang lebih miris, tidak ada upaya untuk mengidentifikasi atau menangkap pelakunya.
Bagaimana jika hukum mati tersebut berlaku di Indonesia?
Jika hukuman seperti itu berlaku di Indonesia, tentu akan menuai reaksi keras dari berbagai aktivis HAM.
Hukuman mati di Indonesia itu ada, tetapi TIDAK dalam hal perselingkuhan dan hanya berlaku untuk kasus pembunuhan berencana, terorisme, korupsi dan perdagangan obat-obatan terlarang.
Sayangnya, hukum di Indonesia tidak mendefenisikan perselingkuhan karena mengandung arti yang luas.
Akan tetapi, ada hukum yang merujuk pada perselingkuhan dalam pernikahan, yaitu berzinah.
Perzinahan dalam arti persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya.
Di dalam suatu permasalahan keluarga mengenai perzinahan, ada dua alternatif hukum untuk penyelesaian, yaitu laporan pidana dan gugatan perceraian.
Berbeda dengan Aceh, satu-satunya daerah Indonesia yang memiliki keistimewaan pada penerapan hukum Islam yang tercantum dalam UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
Undang-undang tersebut juga diperkuat oleh UU No.11 Tahun 2006 tentang bagaimana Pemerintahan Aceh mengatur pelaksanaan syariat Islam di daerahnya.
Hukuman perselingkuhan di Aceh terdapat dalam Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat.
Dalam Qanun ini, terdapat sejumlah aturan mengenai 10 tindakan pidana termasuk pelecehan seksual, pemerkosaan, gay, serta lesbian. Dengan hukuman cambuk sebagai ganjarannya.