PARBOABOA, Jakarta - Seiring diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pemerintah bakal mengimplementasikan beberapa tarif pajak baru.
Lewat UU yang disahkan ini, ada beberapa tarif pajak yang direvisi maupun dinaikkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penyesuaian tarif pajak baru dilakukan untuk menciptakan asas keadilan.
Tanggal berlaku tarif pajak-pajak baru dalam UU HPP.
1. PPN
Mulai April 2022, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik sebanyak 11 persen. Selanjutnya pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik sebesar 12 persen dengan mempertimbangkan aspek sosial dan aspek ekonomi.
Rencananya, pengenaan PPN hanya berlaku untuk beberapa barang/jasa. Sedangkan barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenakan PPN, yakni kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.
Kemudian, tarif PPN 0 persen juga diterapkan pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
Secara lebih rinci, ada 15 barang/jasa yang tak kena PPN alias tarif PPN 0 persen. Hal ini tercantum dalam pasal 16B dan pasal 4A UU HPP.
Barang/jasa tersebut, ialah jenis makanan dan minuman tertentu, uang dan emas batangan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan pemerintah, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering.
2. Pajak penghasilan orang kaya
Mulai tahun 2022, orang kaya dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar 35 persen. Dengan begitu, ada lapisan (bracket) baru pada PPH OP dari yang semula 4 bracket menjadi 5 bracket.
Sebelumnya, tarif tertinggi untuk pajak penghasilan orang pribadi adalah 30 persen. Besaran tarif didasarkan pada penghasilan wajib pajak (WP) atau masyarakat.
Lapisan pertama untuk penghasilan Rp 60 juta/bulan dikenakan tarif pajak sebesar 5 persen. Lapisan kedua untuk penghasilan di kisaran Rp 60 juta - Rp 250 juta dikenakan tarif PPh OP sebesar Rp 15 persen. Lapisan ketiga untuk penghasilan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta maka dikenakan tarif 25 persen.
Pada lapisan selanjutnya, penghasilan di atas Rp 500 juta - Rp 5 miliar dikenakan pajak sebesar 30 persen. Kemudian untuk lapisan baru atau lapisan kelima, pemerintah bakal mengenakan pajak 35 persen untuk pendapatan Rp 5 miliar.
Sri Mulyani menyatakan, tambahan lapisan ini salah satunya disebabkan oleh lapisan pajak orang pribadi di Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain. Vietnam dan Filipina misalnya, memiliki 7 lapisan. Sementara Thailand memiliki 8 lapisan dan Malaysia memiliki 11 lapisan.
3. PPh badan
Tarif pajak penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak (WP) Badan tidak jadi menurun sebesar 20 persen pada tahun 2022. Sebaliknya, tarif pajak badan tetap 22 persen di tahun depan, sama seperti tarif pajak tahun ini.
Namun tarif tersebut dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN.
Dirinci lebih lanjut, wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek paling sedikit 40 persen dan memenuhi persyaratan tertentu dapat memperoleh tarif 3 persen lebih rendah dari 22 persen.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk PT, tarif PPh badan tercantum 20 persen pada tahun 2022. Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang berlaku sejak tanggal 19 Juni 2020.
4. Pajak Karbon
mulai April 2022, pemerintah juga mengatur tarif pajak baru untuk karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Semula, Sri Mulyani mengusulkan tarif pajak karbon Rp 75 per kilogram CO2e. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pengenaan pajaknya memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon sendiri terdiri dari strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan dan keselarasan antar berbagai kebijakan lain.
Mulai Tahun 2022 sebagai tahap awal, pajak karbon dikenakan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
Pengenaan pajak karbon diberlakukan untuk memulihkan lingkungan sebagai bagian dari komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC).
Indonesia turut meratifikasi perjanjian internasional seperti Paris Agreement dengan komitmen menurunkan 26 persen emisi GRK pada tahun 2020, dan 29 persen pada tahun 2030.
Editor: -