PARBOABOA, Jakarta - Kasus-kasus dugaan penganiayaan yang belakangan banyak dilakukan generasi muda seperti Mario Dandy Satriyo, atau Aditya Hasibuan di Sumatra Utara disoroti Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.
Sorotannya terkait berubahnya watak generasi muda yang semakin keras dan pemarah. Persoalan seperti itu, kata Devis, yang masih menjadi pekerjaan rumah, tidak hanya di Indonesia, tapi juga generasi muda di seluruh dunia.
"Anak muda di seluruh dunia sebagai anak kandung zaman, memiliki karakter yang belum stabil. Para ahli menyebut hingga usia 20 tahun fungsi-fungsi tubuh mereka belum berkembang sempurna," kata Devie saat dihubungi Parboaboa, Jumat (19/5/2023).
Sehingga, lanjutnya, kemampuan mereka dalam memilih serta memilah informasi hingga kemudian mengelola emosi, masih menjadi tantangan sampai usia paling tidak 20 tahun.
"Tidak heran jika berbagai konflik serta tantangan bahkan pertarungan antara anak remaja dan anak muda menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi kehidupannya," ujar Devie.
Devie mengatakan hal yang paling menarik terjadi di Amerika, di mana pertarungan antar anak muda ini bukan lagi menjadi persoalan yang sederhana. Generasi muda di sana bahkan sudah menghitung biaya sosial akibat pertarungan di antaranya mereka, yang jika dihitung menghabiskan dana hingga USD100 miliar setiap tahunnya.
"Lebih dari 100 pemuda akan ada di ruang emergency paling tidak ini data di Amerika Serikat. Maka apa yang terjadi di Indonesia saat ini, menjadi bagian dari pola perilaku anak muda di seluruh dunia," ujar Devie.
Penyebab Karakter Tidak Stabil
Pengamat Sosial UI, Devie Rahmawati menilai teknologi digital menjadi salah satu jawaban mengapa anak muda saat ini cenderung memiliki karakter yang tidak stabil.
"Para ahli sudah memprediksi dan mengatakan bahwa generasi digital adalah generasi yang paling stress di muka bumi ini, selama manusia masih menghuni planet ini," katanya.
Kehadiran teknologi digital, lanjut dia, telah membuat anak muda terutama di Indonesia menjadi kurang tidur. Hal ini membuat mental mereka menjadi tidak stabil.
"Karena orang yang kurang istirahat tentu saja akan menjadi cepat lelah dan mudah baper (bawa perasaan)," tegas Devie.
Kedua, anak muda dinilai lebih sering membandingkan dirinya dengan orang lain.
"Sederhana ketika mereka mengirimkan pesan menaruh foto dan video, tapi kemudian yang like (menyukai) sedikit itu saja bisa mempengaruhi mental mereka," jelasnya.
Ketiga, virus fear of missing out (fomo) atau selalu ingin ikut tren. Virus fomo ini berbahaya ketika anak-anak muda tidak memiliki kemampuan untuk bisa mengikuti tren tersebut.
"Inilah yang didorong oleh dunia digital termasuk agresivitas tanpa sensor yang sekarang masuk ke handphone pribadi anak-anak muda," tutur Devie.
Sejak 1950-an para ahli melakukan studi bahwa orang-orang yang mengkonsumsi konten-konten berita hal negatif termasuk kekerasan bisa mendorong mereka menjadi jauh lebih agresif, meski secara umum remaja sangat rentan dengan kehadiran konflik.
Devie juga menjelaskan terkait apa saja yang penyebab hadirnya konflik terutama di kalangan anak-anak muda.
Menurutnya, kekerasan yang dilakukan anak muda berbeda motif dan latar belakang dengan kekerasan yang dilakukan orang dewasa.
"Anak-anak muda biasanya bertarung bukan karena urusan ekonomi tapi lebih karena persoalan identitas, mereka ingin merasa dihargai, ingin menunjukan siapa dirinya," ujar Devie.
Selain itu, mereka juga ingin melindungi dirinya atau memang ada keinginan atau dorongan-dorongan internal yang dipicu oleh beberapa hal untuk bertarung. Misalnya, kata Devie, ketika orang tua membolehkan anaknya memukul dalam rangka bertahan. Tapi kemudian diterjemahkan anak remaja sebagai bentuk persetujuan.
"Kemudian dorongan teman. Banyak anak muda bertarung bukan karena benar-benar ingin bertarung tapi karena lingkungan sosial dan temannya mendorong dan memprovokasi melakukan tindakan kekerasan," tegasnya.
Hal seperti itulah yang membuat anak-anak muda termasuk di Indonesia memilih karakter yang tidak lagi ramah, tetapi menjadi marah.
"Tidak lagi menjadi pemuda yang tenang tapi menjadi pemuda yang berang," ujar Devie.
Oleh karena itu, salah satu pangkalnya yaitu pola asuh modern yang sekarang di seluruh dunia tidak lagi peduli latar belakang orang tuanya dari kalangan menengah, atas atau bawah.
Apalagi, ada kecenderungan beberapa orang tua modern, tidak cukup memberikan perhatian dan pelukan terhadap anak-anak. Sehingga, kata Devie, mereka kemudian lagi-lagi harus mencari jalan di luar sana untuk mendapatkan perhatian dan pelukan dari orang lain.
"Kedua, beberapa orang modern cenderung permisif membiarkan anak-anaknya, ini tidak ada hubungannya dengan latar belakang ekonomi memiliki persamaan pola asuh yakni permisif. Apalagi dewasa itu, orang tua dianggap modern dan asyik bagi anak-anaknya jika membebaskan anaknya melakukan apapun.
"Mereka menjadi tidak memiliki kontrol dan kedisiplinan sehingga akhirnya banyak hal negatif yang menjadikan mereka sosok-sosok yang manja dan lemah," katanya.
Devie menyebut bahwa tentunya ini menjadi tantangan semua, terutama orang tua sebagai orang dewasa yang harusnya paling bertanggung jawab.