Syarat Pengalaman Kerja: Jalan Terjal Menjadi Guru di Indonesia

Ilustrasi guru sedang mengajar di kelas. (Foto: X/@siislah98)

PARBOABOA, Jakarta - Liputan khusus Parboaboa bertajuk Beban Berlipat di Pundak Sarjana Pendidikan memperlihatkan jalan terjal menjadi guru di Indonesia, terutama di kota-kota besar. 

Mimpi para lulusan baru menjadi guru dalam laporan itu pupus lantaran adanya syarat tambahan yang mengharuskan mereka (pelamar) memiliki pengalaman kerja. 

Dino (28) warga Flores, NTT yang mencoba peruntungan menjadi guru di Kota Metropolitan mengalaminya. Berbenturan dengan syarat tambahan tersebut, ia akhirnya memilih jadi cleaning service di salah satu Rumah Sakit Swasta di Jakarta Barat.

Pengalaman serupa dialami Amry (26), warga Pariaman yang pernah melamar menjadi guru pada beberapa sekolah di Kota Padang, Sumatra Barat.

Setelah lulus kuliah pada tahun 2022, Amry memang bertekad menjadi guru. Lantas, ia melamar ke beberapa sekolah negeri maupun swasta. Namun sayangnya semua lamaran itu ditolak.

Amry berkisah, dirinya ingin menjadi guru supaya punya kesempatan mengajar, sambil menunggu formasi CPNS PPPK dibuka. Karena kesempatan itu tak kunjung datang, ia akhirnya memilih pekerjaan lain.

Sekarang ia bekerja di toko pamannya di Kota Pariaman dan sesekali melakukan pekerjaan serabutan, seperti kuli bangunan dan buruh tani.

Mengacu pada data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), kebutuhan guru di Indonesia di tahun ini mencapai 1.312.759 orang. Untuk memenuhi kuota itu pemerintah merekrut tenaga pendidik melalui skema PPPK.

Namun begitu, sistem perekrutan ini tidak mengakhiri kemelut kekurangan guru. Salah satu kendalanya adalah masalah anggaran di tingkat daerah yang mempengaruhi usulan formasi PPPK.

Ditjen GTK, Nunung Suryani bercerita kepada Parboaboa, Pemerintah Daerah saat ini keberatan dengan beban finansial selepas pengangkatan guru PPPK. Apalagi tunjangan dan gaji mereka hanya bersandar pada APBD.

Belum lagi, salah satu syarat tes PPPK kategori umum adalah mengharuskan adanya pengalaman kerja. Bagi Dino, ini sangat memberatkan dirinya dan kawan-kawan lain yang baru lulus. 

“Itu tidak adil aja,” gerutunya. 

Jumlah Guru di Indonesia

Guru-guru di Indonesia tersebar di berbagai jenjang pendidikan, dari mulai tingkat SD sampai SMA/SMK.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), perkembangan jumlah guru di Indonesia dari tahun ajaran 2017-2018 hingga 2022-2023 menunjukkan tren yang berbeda-beda di setiap jenjang pendidikan.

Untuk tingkat TK, misalnya, jumlah guru pada tahun ajaran 2017-2018 tercatat sebanyak 314.147 orang. Jumlah ini meningkat menjadi 351.893 pada tahun ajaran 2018-2019 dan terus naik menjadi 356.779 pada tahun ajaran 2019-2020. 

Meskipun mengalami penurunan menjadi 344.283 pada tahun ajaran 2021-2022, jumlah guru TK kembali meningkat pesat menjadi 368.361 pada tahun ajaran 2022-2023.

Di tingkat SD, pada tahun ajaran 2017-2018, jumlah guru sebanyak 1.586.127. Angka ini menurun menjadi 1.485.602 pada tahun ajaran 2018-2019, namun meningkat kembali menjadi 1.580.207 pada tahun ajaran 2019-2020. 

Jumlah guru SD tetap stabil di angka 1.574.471 pada tahun ajaran 2020-2021 dan kembali meningkat menjadi 1.605.509 pada tahun ajaran 2022-2023.

Lalu di tingkat SMP, jumlah guru meningkat dari 622.781 pada tahun ajaran 2017-2018 menjadi 675.733 pada tahun ajaran 2019-2020.

Di tahun ajaran 2020-2021 terjadi lonjakan jumlah guru menjadi 710.322, meskipun sedikit menurun menjadi 700.742 pada tahun ajaran 2021-2022. 

Pada tahun ajaran 2022-2023, jumlah guru SMP kembali meningkat menjadi 708.675.

Jumlah guru SMA mengalami fluktuasi. Pada tahun ajaran 2017-2018, terdapat 294.872 guru Angka ini melonjak menjadi 628.052 pada tahun ajaran 2018-2019, kemudian menurun menjadi 321.939 pada tahun ajaran 2019-2020, dan meningkat menjadi 338.700 pada tahun ajaran 2020-2021. 

Meskipun mengalami penurunan menjadi 326.522 pada tahun ajaran 2021-2022, jumlah guru SMA kembali meningkat menjadi 347.977 pada tahun ajaran 2022-2023.

Sementara itu, jumlah guru SMK juga menunjukkan tren positif, meningkat dari 276.099 pada tahun ajaran 2017-2018 menjadi 292.212 pada tahun ajaran 2018-2019. Jumlah ini terus naik menjadi 315.568 pada tahun ajaran 2019-2020 dan mencapai 335.980 pada tahun ajaran 2020-2021.

Kendati sedikit menurun menjadi 333.145 pada tahun ajaran 2021-2022, jumlah guru SMK kembali meningkat menjadi 337.271 pada tahun ajaran 2022-2023.

Kalau dicermati, walau jumlah guru di berbagai jenjang pendidikan terus meningkat, Indonesia tetap menghadapi masalah besar terkait kekurangan guru. 

Setiap tahun, berdasarkan Data Statistik Perguruan Tinggi yang dirilis Kemendikbudristek pada 2022, lebih dari 441.000 lulusan sarjana pendidikan memasuki pasar kerja.

Namun, proyeksi kebutuhan tahunan guru hanya sekitar 150.000. Ini berarti terdapat surplus sekitar 300.000 lulusan yang belum terserap oleh lapangan kerja.

Selain itu, jumlah sekolah yang tercatat mencapai 436.707 pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024 menunjukkan bahwa banyak lulusan sarjana pendidikan menghadapi kesulitan dalam menemukan pekerjaan di bidangnya. 

Ketidakseimbangan antara jumlah lulusan yang tinggi dan kebutuhan tenaga pendidik yang terbatas menggarisbawahi perlunya perencanaan dan strategi yang lebih baik dalam penempatan guru.

Ini penting untuk menyelaraskan antara jumlah lulusan dan kebutuhan nyata di sekolah-sekolah, agar tidak ada lulusan yang terpaksa menganggur sementara kebutuhan guru tetap tidak terpenuhi.

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji berkata kepada Parboaboa, untuk mengatasi ketidakseimbangan ini perlu dilakukan rasionalisasi dan pemetaan ulang terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). 

Apalagi sejak tahun 2015, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah merekomendasikan agar LPTK di Indonesia dievaluasi kembali.

OECD menemukan bahwa dari 374 LPTK di Indonesia, banyak yang tidak mempertimbangkan analisis supply and demand dalam proses perekrutan, selain belum menerapkan seleksi ketat untuk membatasi jumlah mahasiswa yang diterima. 

Selebihnya, OECD mencatat bahwa banyak mahasiswa keguruan menghadapi kendala dalam aspek pedagogi.

Mereka sering kesulitan dalam pengembangan kurikulum yang relevan, penggunaan teknologi, dan teknik penilaian yang efektif. Hal ini berdampak pada kemampuan mereka dalam menerapkan metode pengajaran yang efektif di kelas.

Temuan lain kata Indra, menunjukkan bahwa meskipun banyak mahasiswa LPTK menguasai materi akademik, mereka kurang mampu menerapkan strategi pengajaran yang inovatif. Akibatnya, mereka kesulitan menciptakan lingkungan belajar yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan siswa.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS