PARBOABOA, Jakarta - Para hakim, yang selama ini merasa kesejahteraan mereka terabaikan, akhirnya memberanikan diri untuk menyuarakan kondisi tersebut.
Isu ini bukan baru muncul, namun sudah lama menjadi perhatian, mengingat peran vital mereka dalam menjaga keadilan di negeri ini.
Kinerja hakim di Indonesia seringkali menjadi sorotan publik. Sebagai penegak hukum, tanggung jawab mereka sangat besar.
Mereka harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan hukum yang berlaku dan adil bagi semua pihak.
Masyarakat memandang hakim sebagai garda terdepan dalam menjaga keadilan, yang menambah tekanan bagi mereka untuk selalu bekerja dengan baik dan tanpa cela.
Namun, di balik kemegahan toga yang mereka kenakan, para hakim sering kali menghadapi tugas yang berat.
Memastikan hukum ditegakkan secara adil tidaklah mudah, dan dalam menjalankan tugas ini, mereka dituntut untuk selalu objektif dan tidak memihak.
Sayangnya, besarnya tanggung jawab tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan yang mereka dapatkan.
Kesenjangan antara beban kerja yang berat dan kesejahteraan yang kurang memadai ini menjadi salah satu alasan utama tuntutan kenaikan gaji hakim kembali menjadi sorotan.
Pada 8 Oktober 2024, dalam pertemuan dengan Komisi III DPR, tuntutan tersebut kembali disuarakan.
Mereka berharap pemerintahan baru segera mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kondisi ini, terutama karena tanggung jawab yang mereka emban setiap harinya begitu besar.
Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyatakan keterkejutannya setelah mendengar kondisi tersebut dari Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, melalui percakapan telepon.
"Saya terkejut dengan situasi ini. Mohon bersabar, saya sudah mempersiapkan rencana untuk memperbaiki kondisi ini," ujar Prabowo.
Pernyataan ini memberikan secercah harapan bagi para hakim yang selama ini merasa terjebak dalam ketidakadilan terkait gaji dan tunjangan mereka.
Kenyataanya, sudah lebih dari satu dekade gaji pokok hakim tingkat pertama tidak mengalami kenaikan signifikan.
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa gaji pokok mereka berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 6 juta per bulan, tergantung masa kerja.
Dengan tanggung jawab yang begitu besar, angka ini jelas tidak memadai. Lebih buruk lagi, rendahnya gaji ini dapat berdampak pada independensi peradilan, mengingat tekanan yang mereka hadapi dalam menjalankan tugas.
Permasalahan gaji hakim sesungguhnya bukanlah isu baru. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, hakim dikategorikan sebagai pejabat negara.
Namun, dalam praktiknya, skema gaji yang mereka terima lebih menyerupai pegawai negeri sipil (PNS) biasa.
Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakpuasan. Tanggung jawab mereka jauh lebih besar daripada PNS, namun tunjangan yang diberikan justru sama dengan yang diterima oleh PNS.
Koordinator Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Rangga Lukita Desnata, dengan tegas menyuarakan kekecewaannya.
Menurutnya, meskipun disebut pejabat negara, kenyataannya gaji yang diterima hakim jauh dari layak.
Padahal kami dituntut menjaga independensi, “bagaimana kami bisa melakukannya jika kesejahteraan kami diabaikan?” tanyanya.
Kekhawatiran ini wajar, mengingat gaji yang rendah membuat para hakim lebih rentan terhadap godaan suap atau tekanan dari pihak luar.
Pada hal, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan dengan jelas bahwa independensi peradilan harus dijaga.
Namun, bagaimana mungkin para hakim bisa menjalankan tugas mereka dengan independen jika kesejahteraan mereka tidak diperhatikan?
Prabowo pun menyadari hal ini. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa kesejahteraan hakim adalah kunci untuk menjaga integritas peradilan di Indonesia.
Kesejahteraan mereka harus diperhatikan, “agar mereka tidak tergoda oleh suap atau tekanan dari luar,” jelas Prabowo.
Bahkan imbas dari rasa frustrasi ini, awal bulan Oktober lalu, lebih dari 1.600 hakim di seluruh Indonesia melakukan aksi cuti massal sebagai bentuk protes terhadap minimnya kenaikan gaji dan tunjangan.
Aksi ini difasilitasi oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), yang selama ini mendampingi para hakim dalam perjuangan mereka.
Menurut Direktur LeIP, Tanzeil Aziezii, aksi ini adalah akibat dari kegagalan berbagai upaya dialog yang telah dilakukan sebelumnya.
“Kami telah mencoba berkomunikasi dengan Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), tetapi hasilnya nihil,” ungkap Tanzeil.
Selain masalah gaji, tunjangan dan fasilitas lain yang diterima para hakim juga menjadi sorotan.
Banyak hakim yang berhadapan dengan ancaman dan intimidasi saat menjalankan tugas mereka, terutama dalam menangani kasus besar yang melibatkan mafia hukum atau kepentingan politik.
Namun, perlindungan yang diberikan oleh negara dirasa masih minim. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada hakim. Namun, implementasi aturan ini masih jauh dari harapan.
Situasi ini menambah beban mental bagi para hakim yang sudah harus menghadapi tekanan pekerjaan yang luar biasa berat.
Berdasarkan data dari Komisi Yudisial, rata-rata seorang hakim di pengadilan tingkat pertama menangani hingga 300-500 kasus per tahun, tergantung pada kompleksitas wilayah dan jenis kasus.
Tentu saja, jumlah ini membuat mereka sering kekurangan waktu untuk mendalami setiap kasus dengan cermat.
Kabar baiknya, Prabowo sebagai peresiden terpilih dalam masa kampanyenya telah berjanji untuk memperbaiki kondisi ini.
Reformasi sistem peradilan dan kesejahteraan para hakim menjadi salah satu janji kampanyenya yang paling diantisipasi.
Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa kesejahteraan hakim akan menjadi salah satu prioritas utamanya setelah resmi dilantik sebagai presiden.
"Saya memahami peran penting hakim dalam menjaga keadilan di negara ini. Kesejahteraan mereka harus diprioritaskan," tegas Prabowo.
Meski harapan telah disampaikan, tantangan ke depan masih sangat besar. Dengan stagnannya gaji selama lebih dari satu dekade, dan minimnya perlindungan yang diberikan oleh negara, banyak pihak menilai bahwa reformasi ini membutuhkan tindakan nyata yang segera.
Hakim-hakim di seluruh Indonesia tidak lagi hanya menuntut kenaikan gaji. Mereka menuntut pengakuan atas peran penting yang mereka mainkan dalam menjaga tegaknya hukum dan keadilan di negara ini.
Pada akhirnya, tuntutan para hakim untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak bukan hanya soal uang.
Ini adalah soal keadilan, integritas, dan penghargaan atas peran vital mereka dalam menjaga hukum di Indonesia.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan penegakan hukum, sudah sepatutnya negara memberikan penghargaan yang layak kepada para hakim.
Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk melakukan reformasi ini dan memastikan bahwa kesejahteraan para hakim menjadi prioritas, demi menjaga independensi peradilan di Indonesia.
Editor: Norben Syukur