Geliat Inisiatif Mengadang Limbah Fesyen

Produk hasil olahan limbah fesyen yang diproduksi Sejauh Mata memandang. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

PARBOABOA - Vivi Tri Handayani mengambil keputusan drastis setahun lalu. Perempuan 26 tahun ini mulai mengurangi jumlah pakaian di lemarinya. 

Sebuah artikel berbahasa asing mengenai sampah fesyen mengubah cara Vivi memandang pakaian. Ia tersadar bahwa konsumerisme berlebih terhadap fesyen bisa menimbulkan limbah tekstil yang merusak alam.  

Ia memutuskan berhenti mengikuti tren mode terbaru dan memilih pendekatan lain dalam berpakaian: Capsule wardrobe. Konsep ini menekankan pada kepemilikan pakaian yang terbatas, tapi dapat dipadupadankan satu sama lain. 

Satu celana, misalnya, bisa diserasikan dengan beberapa kaos miliknya. Atau, atasan bisa dipadukan dengan beberapa bawahan. Vivi bisa membuat banyak variasi setelan dengan jumlah pakaian yang terbatas.   

"Ini mengurangi kebutuhan untuk membeli pakaian baru secara terus-menerus," katanya. 

Ia juga memilih pakaian berkualitas yang cenderung tak lekang oleh waktu dari segi model. Gaya berpakaian itu, menurut Vivi, bisa membuatnya tetap relevan meski dengan stok koleksi pakaian yang itu-itu saja. 

Untuk acara tertentu yang membutuhkan pakaian khusus, ia tidak khawatir. Vivi memilih menyewa pakaian ketimbang harus membeli baru yang belum tentu akan sering digunakan. 

Bagi dia, memilih metode capsule wardrobe merupakan komitmen personal agar jangan sampai pakaian yang ia gunakan turut berkontribusi mencemari alam. Terlebih, ancaman sampah fesyen kian nyata. 

The Sustainable Fashion Forum memprediksi limbah pakaian di dunia akan mencapai 134 juta ton pada 2030. Parboaboa bersua dengan Vivi di sebuah acara penukaran pakaian bekas yang bertajuk Upcycling Day di Cibubur, Jawa Barat, pada akhir Juni lalu. 

Bila Vivi berusaha menekan sampah fesyen di level individu dengan mengubah pola konsumsi, Upcycling Day melibatkan khalayak yang lebih luas. 

Aktivitas tersebut merupakan hajatan House of Cuff, salah satu perusahaan produsen baju formal. Sebagai bagian dari industri mode, House of Cuff sadar dengan ancaman limbah fesyen

Kegelisahan itu yang melatari Upcycling Day. Dina, Brand Marketing Upcycling Day, mengatakan bahwa helatan itu merupakan puncak dari kampanye #TukarTambahCelana. 

House of Cuff menggandeng kedai kopi untuk memberikan potongan harga bagi donatur yang menyumbangkan pakaian bekasnya. Upcycling Day berlangsung selama enam bulan dengan menyebar seratusan titik pengumpulan baju bekas di seluruh Indonesia. 

Barang yang ditukarkan akan didonasikan ke yayasan amal untuk dijual kembali dengan harga murah. Uang hasil penjualan yang terkumpul kemudian digunakan untuk membantu kelompok marginal. 

Upcycling Day berusaha meminimalkan sampah fesyen di tahap pascakonsumsi. "Baju yang orang udah nggak suka lagi, nggak pakai lagi, bisa bermanfaat sampai membiayai orang sekolah," papar Dina. 

Sementara itu, pakaian donasi yang sudah tidak layak pakai akan diolah kembali oleh mitra Upcycling Day yang punya kompetensi dalam penanganan limbah tekstil. 

Lain lagi yang dilakukan produsen pakaian Sejauh Mata Memandang. Perusahaan mode yang didirikan Chitra Subyakto ini mewujudkan komitmennya pada pengurangan limbah fesyen dengan cara berbeda. 

Koleksi pakaian sejauh mata memandang yang proses produksinya memperhatikan nilai etis dan ramah lingkungan. (Foto: PARBOABOA/Ahmad Ghozali)

Sejauh Mata Memandang menekankan proses yang etis dan ramah lingkungan dalam setiap produksinya. Sejauh Mata Memandang menghindari penggunaan bahan berbasis plastik yang tidak ramah lingkungan, seperti poliester. 

Sebagai gantinya digunakan lebih banyak serat alami seperti tencel, katun, dan linen. Pada 2020, mereka juga mengeluarkan koleksi DAUR dengan mengolah material sisa produksi dan kain-kain yang tak terpakai menjadi pakaian, masker, tas, dan topi dengan teknik tambal sulam.

Sejauh Mata Memandang juga menggalang gerakan daur ulang sampah tekstil yang berhasil mengumpulkan 5.700 kilogram pakaian sepanjang September 2021-Mei 2023. Sebanyak 2.400 kilogram di antaranya telah didaur ulang. 

Geliat aksi untuk menangani sampah fesyen dengan berbagai metode dan skala kian marak belakangan ini. Kini sudah mulai muncul perusahaan-perusahaan yang mendedikasikan diri dalam bidang pengelolaan limbah tekstil. Ecotouch adalah salah satu di antaranya. 

Cikal bakal Ecotouch bermula dari fasilitas pengelolaan limbah yang dimiliki perusahaan fesyen PT Super Petex. Di bangun pada 2009, semula fasilitas hanya digunakan untuk mengolah limbah sisa produksi pabrik yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, itu. 

Limbah seperti kain perca, potongan kain, dan lain-lain didaur ulang di sana. Fasilitas itu kemudian berkembang tidak hanya mengolah sisa pabrik PT Super Petex, tapi juga dari industri garmen yang berada di sekitar Bandung. 

Pada 2021, ketika pandemi COVID-19 menerjang, orang-orang tersadar bahwa mereka memiliki banyak koleksi pakaian yang tidak terpakai. Pada momen itulah Ecotouch didirikan untuk menangkap peluang pengolahan limbah fesyen

Produk Ecotouch dari hasil olahan limbah fesyen. (Foto: PARBOABOA/Ahmad Ghozali)

Ecotouch memberi pilihan bagi masyarakat untuk mendonasikan pakaiannya ketimbang membuangnya ke tempat sampah. Sejak itu, Ecotouch berusaha terlibat dalam penanganan limbah tak hanya di tahap prakonsumsi—yang berasal dari bahan sisa produksi—tapi juga pascakonsumsi. 

"Kami menjadi wadah untuk mereka bisa kirimin nih baju-baju yang nggak layak pakainya," ungkap Agnes Kiki, Head of Division Brand Communication Ecotouch.  

Ecotouch berkantor di Grogol, Jakarta Barat. Di sanalah pakaian yang didonasikan disimpan sementara dan disortir. Begitu bobotnya mencapai 3-5 ton, bahan-bahan tersebut dikirim ke pabrik PT Super Petex untuk diolah. 

"Biasanya kami jadwalkan satu bulan satu kali, karena juga harus menghemat carbon footprint dari emisi karbon transportasinya," papar Kiki. 

Limbah tekstil itu lalu didaur ulang menjadi berbagai macam produk, salah satunya peredam suara untuk bangunan. Produk tersebut tidak asal dipilih sebagai barang jadi olahan limbah tekstil. 

Peredam bangunan merupakan produk jadi hasil daur ulang yang paling banyak menyerap limbah fesyen. Sampah tekstil seberat 6-10 kilogram bisa dikonversi menjadi satu panel peredam ukuran 60 x 120 cm. 

Produk daur ulang lain Ecotouch adalah benang dan kain, yang diklaim Dina bisa didaur ulang kembali karena hanya menggunakan bahan sintetis kurang dari 40 persen.  

Sementara itu, Zero Waste Indonesia menggagas model inisiatif lain untuk mencegah sampah pakaian berakhir di tempat pembuangan akhir. Komunitas yang getol mendorong gaya hidup minim sampah ini menggelar aktivitas tukar-menukar pakaian lewat kegiatan #TukarBaju. 

Kegiatan ini telah digagas sejak 2019. Zero Waste Indonesia telah menggelar #TukarBaju ke banyak daerah. 

Tiara Laraswati, Project Coordinator Aksi #TukarBaju Zero Waste Indonesia (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

Menurut Tiara Laraswati, Project Coordinator Aksi #TukarBaju Zero Waste Indonesia, sudah 25 kali kegiatan tersebut diselenggarakan. Hingga 2023, Ia mencatat ada 18 ribu potong pakaian yang dipertukarkan dengan melibatkan sekitar 5 ribu orang lebih. 

"Ini adalah salah satu aksi alternatif bagi yang ingin pakaiannya bergaya tetapi juga bisa mengurangi sampah," kata Tiara. 

Sebab, banyak orang yang ingin punya banyak variasi pakaian. Zero Waste Indonesia memfasilitasi orang semacam itu tanpa perlu membeli pakaian baru. 

Dengan saling bertukar pakaian, jumlah baju di lemari tidak akan berkurang. Usia penggunaan pakaian pun akan bertambah panjang ketika digunakan orang lain. Tiara berharap model kampanye ini bisa membangun kesadaran akan ancaman limbah fesyen

Reporter: Putra Paskah, Patrick Damanik

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS