PARBOABOA, Jakarta - Gangguan dan ketikdakstabilan politik di Indonesia berpotensi menjadi penghambat perpindahan ibu kota.
Selain gangguan politik, perubahan pemerintah turut memperlambat memperlambat proses perpindahan dan pembangunan infrastruktur yang diperlukan.
Oleh karenanya, Wakil Ketua III IKAL Strategic Center (ISC), Ito Sumardi mengingatkan pemerintah mengurangi gangguan politik dan mengatasi masalah isolasi geografis agar perpindahan ibu kota berjalan lancar dan sukses.
"Pemerintah harus mempertimbangkan semua faktor," katanya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga harus bisa berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, memiliki rencana yang cermat dan transparan.
Hal itu dilakukan agar perpindahan ibu kota tidak mengalami kegagalan, seperti yang terjadi di Myanmar.
Di Myanmar, kata Ito, upaya memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada 2005 merupakan proyek besar dan gagal diterapkan pemerintahan setempat.
Sementara menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai, infrastruktur yang berkualitas sangat penting dalam proses perpindahan ibu kota.
"Dalam hal ini termasuk jaringan jalan, transportasi publik, bandara, serta layanan dasar seperti air dan listrik," ungkap Agus kepada PARBOABOA, Jumat (20/10/2023).
Agus juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses perpindahan ibu kota.
"Masyarakat harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memberikan masukan mengenai rencana perpindahan," tegasnya.
Kemudian, pemindahan ibu kota memerlukan investasi finansial yang signifikan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas baru.
Oleh karenanya, keterlibatan publik yang memadai sangat penting.
Partisipasi publik yang baik dan transparansi dalam pengambilan keputusan, lanjut Agus, sangat krusial untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Agus kembali menekankan keterlibatan warga negara, pemangku kepentingan, dan pihak terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan pemindahan IKN.
"Sehingga ketidakpuasan dan penolakan bisa dikurangi," imbuhnya.