PARBOABOA, Jakarta - Mukhamad Misbakhun, anggota Dewan Komisi XI DPR RI, mendorong pemerintah untuk melakukan penelusuran aset (asset tracing) guna mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah dikucurkan untuk menangani krisis perbankan pada tahun 1998.
Misbakhun mengatakan hingga saat ini penyelesaian kewajiban para obligor yang mendapat BLBI tersebut belum tuntas.
Salah satu penyebabnya adalah negara hanya menguasai aset-aset obligor yang masih pengemplang utang secara fisik. Artinya, negara tidak menguasai dokumen atas aset-aset milik obligor. Bahkan, beberapa aset telah menjadi objek sengketa.
Ia menjelaskan jika negara harus tegas untuk melakukan asset tracing. "Negara harus tegas untuk melakukan assets tracing supaya preseden membangkrutkan negara melalui mekanisme utang-piutang tidak terulang. Ini sejarah pahit dalam perjalanan bangsa kita," ujarnya saat ditemui di Senayan, pada Rabu (29/3/2023).
Lebih lanjut, jumlah bantuan likuiditas yang dikucurkan Bank Indonesia pada tahun 1998 mencapai Rp 147 triliun. Jumlah tersebut disalurkan kepada 48 bank yang mengalami masalah likuiditas.
Saat itu, penyelesaian utang ditempuh lewat tiga skema, yakni penyelesaian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Menurut Misbakhun, ketiga skema tersebut melarang pemilik lama bank yang mendapat bantuan likuiditas untuk memiliki kembali aset-asetnya. Namun, dia menyebut ada beberapa kasus di mana pemilik lama melakukan upaya memiliki kembali aset-asetnya melalui pihak lain secara tidak langsung. Dia mencontohkan, kasus tersebut terjadi pada aset sebuah pabrik tekstil di Solo, Jawa Tengah.
“Kalau kita lihat aset-aset ini kalau belum clear and clean, negara mempunyai masalah terhadap pengakuan. Coba perhatikan banyak tanah ini kemudian menjadi sengketa dan saya ingin memperkuat sebuah kebijakan yang sangat penting, supaya tidak berulang yaitu melakukan assets tracing,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan melansir total nilai pengembalian biaya BLBI mencapai sebesar Rp28,53 triliun per 25 Maret 2023. Jumlah itu setara 19,4 persen dari total bantuan likuiditas yang dikeluarkan sebanyak Rp147 triliun.
Adapun nilai pengembalian biaya BLBI itu terdiri dari aset sitaan atau jaminan barang dan harta kekayaan lainnya sebesar Rp13,7 triliun. Kemudian pengembalian dalam bentuk uang yang masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp1,05 triliun.
Selanjutnya dalam bentuk aset properti senilai Rp8,54 triliun. Sisanya berbentuk hibah ke Kementerian/Lembaga, Penyertaan Modal Negara.