Seniman Musik dan Batik Sejati, Sarijah Niung (Ibu Soed)
PARBOABOA - Perancangan dimulai pada September 1961 dan berakhir pada penghujung 1962. Peresmikan pada 19 April 1964. Diperlukan sekitar US$2,5 juta untuk menghadirkan bangunan 2 lantai ini.
Untuk mengisinya, termasuk dengan pelbagai barang pajangan, awak yang mengurusinya, serta para seniman yang menjadi penampil, biayanya tak kurang dari US$6,5 juta (Harry Kurniawan).
Indonesia berusaha tampil optimal di ajang akbar New York ini. Puspa hasil bumi kita diboyong dan dipajang. Juga karya seni berbahan kain, kayu, kulit, logam, dan yang lain (batik, ukiran kayu, pahatan batu, tatahan perak, termasuk).
Untuk memikat hadirin, peragaan pembuatan kriya rutin dilangsungkan. Membatik, termasuk. Pengunjung biasanya akan terpikat saat menyaksikan Go Tik Swan dan Bu Soed memainkan canting di atas kain mori. Sama-sama kesayangan Bung Karno, kedua seniman batik ini.
Ditugasi Presiden Soekarno mengembangkan batik Indonesia, Go Tik Swan kelak dikenal sebagai empu batik dan keris sekaligus. Lelaki asal Surakarta yang menjadi murid Prof. Tjan Tjoe Sim dan Prof. Poerbatjaraka di Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (ia masuk tahun 1953) merupakan mentor sekaligus mitra bisnis Bu Soed di lapangan perbatikan.
Paviliun Indonesia juga rutin mementaskan musik, tarian, dan wayang golek. Untuk menyemarakkan suasana, restoran yang menyajikan aneka kuliner Nusantara juga dihadirkan. Sejumlah pesohor Hollywood ikut bersantap di sana.
Sebagai penggagas perhelatan dan perancang bangunannya, pastilah Soekarno ingin melongok Anjungan Indonesia. Panitia penyelenggara World’s Fair New York juga mengundang dia secara khusus.
Bung Karno menerima undangan dari New York pada 16 Mei 1964. Tapi, apa hendak dikata. Penguasa di Washington melarangnya datang. Yang berkuasa saat itu adalah Lyndon Johnson. Sahabat Soekarno, John Fitgerald Kennedy, telah ditembak mati pada 22 November 1963.
Utusan akhirnya yang dikirim Bung Karno ke New York.
Hubungan Indonesia-Malaysia terus memburuk. Konfrontasi memuncak. Indonesia keluar dari PBB pada 7 Januari 1965 dan kemudian memutukan hubungan dengan AS yang memang jelas-jelas memihak Malaysia.
Pada 11 Maret 1965 Indonesia mundur dari World’s Fair New York. Penyelenggara perhelatan ini mengambil alih Anjungan Indonesia dan melarang setiap orang Indonesia memasuki kawasan yang berluas 260 hektar.
Rombongan Indonesia pulang ke Tanah Air sebelum New York World’s Fair berakhir pada 17 Oktober 1965. Bu Soed termasuk yang kembali ke Jakarta.
Tak lama berselang, tepatnya 30 September 1965 prahara politik terjadi di Indonesia. Demonstrasi merebak di mana-mana. Soekarno terdesak sebelum akhirnya jatuh pada 12 Maret 1967. AS jelas-jelas terlibat dalam penggulingan sang proklamator.
‘Tanah Airku’
Rajin dan bersemangat. Begitulah Ibu Soed sebagai pimpinan urusan perbatikan di Anjungan Indonesia, New York. Ini-itu diterangkannya serba benderang terlebih ke pengunjung yang penasaran. Kalau perlu ia akan memperagakan cara membuat motif berikut teknik pewarnaannya.
Namun, usikan kemudian muncul. Musim salju yang dikhawatirkannya akhirnya tiba. New York membeku dan ia menggigil. Kegiatannya dengan sendirinya terganggu.
“Eyang Putri sangat menderita. Itu diceritakannya ke aku. Ia memang nggak suka udara dingin. Dari dulu sampai di masa tuanya begitu. Dulu, kalau lagi ke rumah kita pasti dia matiin AC,” kata cucunya yang merupakan perancang kenamaan, Carmanita.
Masih saja komponis-pembatik itu menggigil kendati telah mengenakan pakaian serba tebal pemberian sobatnya, Bung Karno. Bukan hanya itu. Ia kemudian dijangkiti pneumonia sehingga perlu dilarikan ke Rumah Sakit John Hopkins, New York.
Rumah sakit ini sekompleks dengan Universitas John Hopkins yang termashyur sejak lama. Sebelum musim dingin tiba, dari jendelanya yang besar-besar tampak Brooklyn Bridge di kejauhan. Salju yang kemudian turun terus-menerus membuat dunia luar menjadi serba putih. Memandangi kapas es yang berjatuhan dari langit ke halaman membuat Ibu Soed meradang didekap sepi.
Tergeletak saja di pembaringan. Tubuh tak berdaya didera pneumonia. Kalau sebelumnya acap di tengah keramaian World’s Fair dan senantiasa berpeluang untuk bercengkerama dengan sesama orang Indonesia, kini lain ceritanya. Terasing sendirian di negeri orang dan sedang sakit serius pula.
Tanah Air yang ribuan kilometer jauhnya di seberang benua laksana memanggil-manggil. Dan, suara seruan untuk pulang itu bertambah keras saja seiring peranjakan hari.
“Menangis dan menangis dia kemudian. Itu diceritakannya ke aku,” kata Carmanita. Pendiri Yayasan Batik Indonesia ini kelahiran Bandung dan merupakan putri Raden Ayu Krisnani, anak ketiga Ibu Soed.
Sebagai orang kreatif Ibu Soed tak sudi takhluk-remuk diamuk rindu. Alat tulis digunakannya untuk menumpahkan perasaan. Bersiul dan bersiul dia di rumah sakit itu. Maka, lahirlah lagu ‘Tanah Airku’. Syairnya seperti berikut ini.
Tanah airku, tidak kulupakan,
Kan terkenang, selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh,
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau, kuhargai.
Walaupun banyak negeri kujalani,
Yang mahsyur permai dikata orang,
Tetapi kampung dan rumahku,
Di sanalah ku rasa senang
Tanahku tak kulupakan,
Engkau kubanggakan.
Di buku Ketilang jilid 2—Ibu Soed (lagu) dan Ibu Florentine (aransemen); diterbitkan Gramedia tahun 1986—disebut karya ini diciptakan pada 1940. Yang mana gerangan yang benar?
“Malah ada orang yang bilang lagu itu diciptakan Ibu Soed tahun 1920-an. Ngarang! Bohong! Eyang putri sendiri yang bercerita ke aku bagaimana proses penciptaannya di New York,” lanjut Carmanita yang lama hidup serumah dengan sang nenek.
Memang, di tahun 1940-an pun Ibu Soed belum pernah bepergian ke banyak negeri di luar Indonesia; apalagi di tahun 1920-an. Sementara lagu-lagu ciptaannya merupakan realitas yang dialaminya sendiri dan dituangkannya kemudian menjadi nyanyian. Artinya, pernyataan Carmanita tadi berdasar juga.
Bersambung...Editor: Rin Hindrayati