Di Bawah Bayang-bayang Sensasi Psikotropika 

Obat keras atau Obat golongan G jenis tramadol dan hexymer yang didapatkan begitu mudah di sejumlah daerah DKI Jakarta. (Foto: Tim Parboaboa)

PARBOABOA - Belasan tahun hidup di bawah kendali obat keras membuat Raka, bukan nama sebenarnya, hancur berantakan. Kondisi kesehatan pria paruh baya itu perlahan memburuk.

Stimulus yang dihasilkan selepas menenggak psikotropika, rupanya hanya bertahan sesaat. Seiring waktu, tubuhnya mulai menunjukkan reaksi berbeda.

“Dulu, rasanya lebih enak, tapi sekarang efeknya makin aneh. Busa keluar dari mulut, badan gatal-gatal, gigi juga habis, banyak yang ompong,” cerita Raka kepada Parboaboa medio Agustus lalu.

Mengkonsumsi obat-obatan kategori G (gevaarlijk), seperti tramadol, triheksifenidil, klorpromazin, amitriptilin, haloperidol, dan dekstrometorfan, semacam menjadi tren di lingkaran pergaulan Raka.

Ia tumbuh di tengah kerasnya kehidupan Jakarta. Masa mudanya kacau, jauh dari kontrol orangtua. Kondisi ini yang memaksanya masuk dalam pusaran ketergantungan obat keras.

Penggunaan obat-obatan tipe G, mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02396/A/SK/VIII/1989, hanya dibolehkan setelah mengantongi resep dokter. 

Beleid tersebut juga mengatur soal dosis, frekuensi, dan durasi pengobatan. Selain itu, pasien yang menggunakan obat keras wajib mendapatkan pemantauan berkala dari tenaga medis.

Suatu senja selepas kerja. Sekujur tubuhnya tiba-tiba bergetar. Detak jantung berdebar dengan sangat cepat. Raka tumbang. Seketika rasanya mau mati. 

Ia hanya bisa pasrah. Tak ada ritual khusus penyembuhan saat itu, selain kembali menelan tramadol atau excimer, dua jenis obat favorit Raka.

Kejadian itu membuatnya makin cemas saban hari. Risiko serangan jantung atau stroke bisa terjadi kapan saja. Terlebih, beberapa sahabatnya mengeluhkan masalah serupa.

“Rasanya seperti menyerang jantung, susah bergerak, bikin sesak napas,” cerita Raka mengenang.

Efek ketergantungan obat keras juga membuat pria berdarah Betawi itu menderita insomnia kronis. Raka mengaku sulit tidur selama berhari-hari, sementara aktivitas kerjaan hampir tak pernah putus.

Kekurangan waktu istirahat, mengutip riset National Institutes of Health (NIH), dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan seseorang rentan terhadap beragam penyakit.

Reaksi psikotropika rupanya juga berdampak secara psikologis. Raka mengalami perubahan suasana hati yang drastis. Ia kehilangan kontrol atas emosinya, gampang marah dan depresi.

Di beberapa kesempatan, Raka kerap larut dalam halusinasi. Mentalnya kini benar-benar ambruk. Sementara, untuk keluar dari lingkaran setan itu, bukanlah perkara mudah.

“Saya bisa sampai tiga hari bengong, ngobrol sendiri sama galon, tembok, atau rokok di WC. Mau berhenti susah. Saya seperti benci dengan diri sendiri,” kesalnya.

Dua jenis obat golongan G, yakni Tramadol dan Hexymer. (Foto: Tim PARBOABOA)

Efek konsumsi obat-obatan kategori berbahaya, juga membunuh kehidupan Ranu, bukan nama sebenarnya. Tahun 2016 silam menjadi titik balik pria asal Depok itu berkenalan dengan obat-obatan daftar G.

Saat itu, Ranu bekerja sebagai satpam di kawasan Jakarta Pusat, dekat Pasar Tanah Abang. Semula, ia tak begitu akrab dengan obat-obatan keras. Ranu hanya ingin fokus bekerja.

Semua berubah ketika pada suatu kesempatan atasannya meminta Ranu membeli obat tramadol di Tanah Abang. Ia pun segera meluncur ke pusat grosir terbesar Asia Tenggara itu.

Di sana, Ranu dengan mudah mendapatkan obat-obatan tipe G ilegal, yang oleh para penjual sering disebut ‘dodol’. Setelah keseringan diminta bosnya membeli tramodol, belakangan ia menyadari bahwa obat tersebut digunakan untuk menambah stamina.

Mayoritas teman-teman kerja Ranu ternyata melakukan hal serupa. Mereka mengkonsumsi tramadol atau excimer sebagai doping energi selama seharian bekerja. 

“Mereka kerja dari pagi sampai malam, jadi butuh obat buat bisa kuat,” cerita Ranu.

Ia pun mulai mencobanya. Sejak saat itu, tramadol menjadi senjata ampuh setiap kali Ranu merasakan kelelahan. Ia rutin mengkonsumsi sebelum mulai beraktivitas.

Lulusan salah satu kampus swasta di Jakarta itu bahkan mengkonsumsi tramadol dalam dosis tinggi, bisa tiga tablet atau lebih dalam sehari.

"Kalau nggak pakai, rasanya kayak ada yang kurang. Was-was, gampang kaget, dan panik. Tapi begitu pakai, langsung tenang," ujar Ranu.

Sama seperti Raka, ketergantungan obat-obatan keras membuat kondisi kesehatan Ranu ikut memburuk. Ia kerap gemetar, mengalami keringat dingin, dan  sesak napas. 

Pada 2020, Ranu memutuskan untuk berhenti. Ia mulai sadar, ketergantungan obat keras akan menghancurkan kehidupan dan masa depannya.

"Saya sadar, efek jangka panjangnya pasti buruk untuk kesehatan, terutama ginjal. Teman-teman saya juga mulai mengalami masalah kesehatan," ujarnya. 

Kini, Ranu mengaku sudah mulai mengontrol kebiasaannya, meski kadang ingin kembali ke masa lalu. Terlebih selepas aktivitas fisik yang menguras energi.

"Kalau benar-benar capek, kadang masih pengen pakai, tapi saya bisa mengontrol diri sekarang. Kalau nggak perlu, ya nggak pakai," katanya.

Merujuk Laporan Hasil Pengukuran Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun 2023, jumlah pengguna obat-obatan daftar G di Indonesia mencapai 3,49% dari total kasus penyalahgunaan narkotika.

Angka prevalensi penyalahgunaan narkotika setahun pakai pada 2023, mencapai 4,757 juta orang atau 1,73% dari jumlah populasi penduduk di Indonesia. 

Pada 2021, total pengguna obat-obatan kategori G mencapai 1,5%, dengan angka prevalensi 5,372 juta atau 1,95% dari total populasi.

Melepas rantai ketergantungan obat keras memang bukan masalah sepele. Hal ini, menurut Psikiater RSJ Marzoeki Mahdi, dr. Widi Primaciptadi, disebabkan penggunaan obat dalam jangka waktu yang cukup lama.

Widi menjelaskan, zat aktif dalam obat tersebut, seperti tramadol dan hexymer, mengubah cara kerja neurotransmitter, seperti dopamin, norepinefrin dan serotonin.

Dopamin berperan besar dalam sistem reward otak, yang membantu memproses perasaan kesenangan dan motivasi, serta mempengaruhi pengalaman kebahagiaan dan kepuasan.

Penggunaan obat-obatan yang merangsang dopamin secara berlebihan dapat mengganggu sistem reward alami otak. 

Seiring waktu, otak dapat menjadi terbiasa dengan tingkat dopamin yang tinggi, sehingga memerlukan dosis obat yang lebih besar untuk mencapai efek yang sama.

Norepinefrin, kata Widi, berfungsi untuk merespon stres. Efek obat yang meningkatkan kadar norepinefrin dalam mengatasi stres, membuat banyak pemakai sulit lepas dari ketergantungan.

Sebuah jembatan di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat yang biasa digunakan untuk transaksi jual beli tramadol secara terbuka. (Foto: Tim PARBOABOA)

Sementara, serotonin mempengaruhi suasana hati dan emosi pengguna. Kadar serotonin yang seimbang dapat membantu menjaga perasaan bahagia dan stabil secara emosional. 

Sebaliknya, kekurangan serotonin akan menyebabkan gangguan mood, seperti depresi dan kecemasan. Karena itu, beberapa pengguna membutuhkan obat untuk memulihkan emosional.

Di sisi lain, menurut Widi, pemakaian obat keras dalam jangka panjang menyebabkan risiko toleransi obat, di mana dosis yang sama tidak lagi memberikan efek yang sama. 

Akibatnya, pengguna akan meningkatkan dosis untuk mendapatkan efek yang diinginkan, yang justru dapat memperparah ketergantungan.

Selain itu, ketika seseorang berhenti menggunakan obat, mereka sering kali mengalami gejala putus zat. Tubuh akan mengeluarkan reaksi, seperti kecemasan, depresi, mual, keringat dingin dan tremor. 

“Gejala-gejala ini dapat menjadi dorongan kuat untuk kembali menggunakan obat yang memperumit upaya pemulihan,” jelasnya.

Prof. Rose Mini Agoes Salim, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), mendeteksi sejumlah dimensi yang menjadi pemicu ketergantungan obat keras.

Aspek paling dominan adalah ketidakmampuan individu, khususnya remaja, untuk mengurai persoalan. Mereka merasa gelisah, takut berlebihan dan cenderung mengambil jalan pintas.

Secara psikologis, kata Rose, manusia mempunyai dua pendekatan ketika menghadapi masalah: fight atau flight

Jika memilih fight, seseorang akan langsung menghadapi masalah tersebut dan mencari solusi untuk mengatasinya. Sebaliknya, jika memilih flight, seseorang cenderung menghindari masalah.

“Ini kan orang-orang yang menghindar, yang menggunakan obat-obat seperti ini sebagai pelarian," jelas Rose kepada Parboaboa.

Padahal, obat-obatan tersebut hanya memberikan efek stimulan sesaat, tidak pernah menuntaskan persoalan yang dihadapi.

Menurutnya, mengkonsumsi obat keras sebagai solusi instan pada akhirnya akan menjadi habitus, khususnya di kalangan remaja. Mereka akan sulit keluar dari kungkungan ketergantungan. 

Hal ini serentak akan mengikis perkembangan komunikasi individu, kepercayaan diri, serta kemampuan mereka menghadapi stres secara alami.

"Mereka belum memiliki pengalaman hidup yang cukup untuk memahami efek jangka panjang," lanjutnya.

Karena itu, Rose mendorong kerja-kerja kolaboratif lintas sektor untuk membantu setiap individu mengenali kekuatan dan kelemahan diri.

Peran keluarga dan lingkungan menjadi aspek krusial. Orang tua harus memberikan stimulasi sejak dini agar anak-anak mereka belajar menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. 

Lingkungan yang mendukung, seperti sekolah dan komunitas, juga ikut berkontribusi membantu menghadapi tekanan hidup tanpa harus mencari pelarian pada obat-obatan.

"Lalu, jika nantinya ada yang ketangkep di tengah masyarakat, sanksinya harus jelas juga. Intinya, jangan sampai kemudian kita bilang enggak boleh,” tambahnya.

Sejauh ini, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI, sudah melakukan sejumlah strategi antisipatif dalam menekan penggunaan obat keras di Indonesia.

“Kami mengawasi dari hulu hingga hilir, mulai dari industri, distribusi, hingga fasilitas pelayanan kesehatan,” kata Kepala BPOM RI, dr. Taruna Ikrar kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.

Gedung BPOM RI di Jakarta Pusat. (Foto: Tim PARBOABOA)

BPOM menjalin kerja sama dengan Perkumpulan Perusahaan Pemeriksa Keamanan Kargo dan Pos Indonesia (PAPPKINDO) dan Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo).

Kerjasama ini, kata Taruna, terkait penanganan barang kiriman berupa obat keras ilegal yang sering disalahgunakan. 

BPOM juga menggandeng Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dirjen Bea Cukai.

Langkah ini dilakukan untuk memperkuat integrated criminal justice system (ICJS) dalam rangka penyidikan tindak pidana obat, terutama upaya pemberantasan peredaran obat-obat tertentu (OOT) golongan daftar G.

Selain itu, BPOM membangun kerja sama dengan Indonesian E-commerce Association (idEA) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk pemantauan peredaran obat keras ilegal yang diedarkan secara daring.

“Hasil pemantauan terhadap tautan yang menjual obat ilegal akan dilakukan rekomendasi penurunan konten atau takedown," jelas Taruna.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS