PARBOABOA - Andri, bukan nama sebenarnya, menceritakan peristiwa sekitar setengah tahun lalu itu dengan meledak-ledak. Beberapa kali nada suaranya meninggi.
Ia merasa dikerjai dalam proses hukum ketika tersandung kasus penggunaan ganja. Sempat beberapa hari mendekam di sel, ia bebas setelah keluarganya menebus sejumlah uang.
"Pertama minta Rp 100 juta, turun ke Rp90 juta, turun lagi ke Rp30 juta, terakhir Rp15 juta satu kepala," katanya kepada Parboaboa dua pekan lalu.
Seorang pengacara menegosiasikan nominal "tebusan" dengan pihak keluarga. Padahal Andri tak pernah sekalipun berkomunikasi dengan si pengacara.
Sebelumnya, ia diminta seorang polisi untuk menandatangani sebuah berkas. Dokumen tersebut rupanya surat pemberian kuasa kepada penasihat hukum yang ditunjuk penyidik.
Sejak awal diperiksa, bahkan sebelum meneken surat kuasa, Andri sebenarnya sudah menyadari kehadiran pengacara itu. Akan tetapi, mereka tidak pernah sekalipun berinteraksi.
"Dia cuma mondar-mandir aja di ruang penyidik," ujarnya.
Keesokan harinya, si pengacara menemui keluarga Andri ketika mereka datang membesuk ke tahanan. Andri mengetahui isi obrolan siang itu dari cerita orang tuanya.
Si pengacara membeberkan barang bukti yang memberatkan beserta ancaman pidana yang mungkin menjeratnya. Di situlah keluar nilai "uang damai" yang dibuka dengan angka Rp100 juta pertama kali disebut. Ia juga menyampaikan pesan.
"Kalau bisa masalah ini jangan cerita ke mana-mana, atau diomongin ke saudara yang polisi atau anggota," Andri menirukan kalimat pengacara itu kepada orang tuanya.
Dalam kekalutan, keluarga Andri menyanggupi "tebusan" Rp15 juta. Begitu juga keluarga dari teman Andri yang ikut diciduk polisi.
Kebetulan, suatu malam sebelum ditangkap, Andri sedang nongkrong bersama beberapa temannya di suatu tempat di bilangan Jakarta Selatan. Sejumlah polisi tiba-tiba merangsek ke arah mereka yang sedang melinting ganja.
Berbekal temuan barang bukti beberapa linting ganja yang beratnya tak sampai 5 gram, mereka langsung dibawa ke kantor salah satu polres di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Alhasil, Andri harus mendekam di sel berukuran sekitar 3x5 meter persegi bersama 15-an orang lain selama tiga hari. Mayoritas penghuni selnya juga terjerat kasus penggunaan narkoba.
Ia dan teman-temannya bebas tak sampai hitungan jam setelah uang tebusan diserahkan kepada si pengacara. Penyerahan uang pun dilakukan di lingkungan polres secara tunai.
“Pengacaranya emang enggak mau transfer, mungkin biar susah dilacak,” imbuh Andri.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi dan Kepala Bidang Propam Polda Metro Jaya, Kombes Bambang Satriawan, belum menanggapi permintaan konfirmasi.
Parboaboa sudah mengajukan permintaan wawancara terkait praktik "tebusan" ini ke kantornya masing-masing. Pesan yang dikirim ke nomor juga belum direspons Ade Ary Syam Indradi.
Praktik "tebusan" untuk membebaskan pengguna narkoba agaknya berlangsung masif dan sistemik. Parboaboa mendapat banyak kesaksian seputar pengguna narkoba yang dimintai uang tebusan.
Sebagian besar mereka ditangkap di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Sebagian kesaksian lain perkaranya ditangani polda lain. Beberapa detail pengakuannya, termasuk kesaksian Andri, kami samarkan dengan pertimbangan keamanan.
Nominal uang tebusan bervariasi, seorang pengguna yang pernah terjerat kasus penggunaan ganja mengaku menebus Rp75 juta pada 2018. Kebetulan, ia berasal dari keluarga berada yang cukup punya posisi.
Modus negosiasi tebusan yang paling umum ialah dengan menggunakan pengacara sebagai calo. Fery, seorang pengacara yang kerap ditunjuk polisi untuk memberi pendampingan hukum bagi terperiksa, mengonfirmasi hal tersebut.
"Biasanya melalui perantara pengacara karena dianggap lebih aman," ujarnya.
Meski ada, menurutnya, jarang oknum polisi meminta langsung uang damai ke keluarga korban. Ia mengatakan, tak ada standar baku besaran nominal uang damai.
Pada akhirnya, lanjut Fery, nilai yang disepakati akan tergantung pada kemampuan keluarga terperiksa. Itu sebabnya, angkanya selalu bisa dinegosiasikan.
Fery sendiri mengaku, tebusan paling yang kecil untuk kasus narkoba yang ia urus sebesar Rp20 juta. Namun, biasanya ia selalu membuka harga di angka yang besar.
"Iseng-iseng berhadiah, kalau memang bisa disanggupi di angka tersebut, ya, untung," ungkapnya.
Fery menjelaskan, transaksi bisa saja urung terjadi bila pihak keluarga menolak memberi uang damai. Hanya saja, menurut dia, hal itu terjadi di segelintir kasus saja.
Umumnya pengguna narkoba dan kerabatnya dalam kondisi tidak bisa berpikir jernih. Hal itu memuluskan proses negosiasi harga. Banyak juga inisiatif negosiasi yang dimulai justru dari keluarga terperiksa.
Uang tebusan yang didapat nantinya dibagi antara pengacara dan oknum polisi. Fery menolak mengungkap ke siapa saja uang haram itu mengalir.
Totok Yulianto, Koordinator Kampanye dan Advokasi Yayasan Aksi Keadilan Indonesia, masih sering menemukan praktik penyelesaian perkara penggunaan narkoba dengan tebusan uang. Aksi Keadilan merupakan lembaga yang getol memberikan advokasi bagi pengguna narkoba. Lembaga swadaya masyarakat ini juga giat mendorong pembenahan kebijakan bagi pengguna narkoba.
Totok menegaskan lembaganya menolak praktik damai semacam ini dalam mendampingi pengguna narkoba. “Dari awal pendampingan, kita sudah bilang tidak menggunakan mekanisme pembayaran yang tidak sah,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya, metode permintaan uang yang paling umum yakni dengan menggunakan perantara. Orang ketiga ini bisa siapa saja, mulai dari pengacara, oknum penegak hukum lain yang tidak terlibat langsung penyelidikan atau penyidikan kasus, hingga oknum di tempat rehabilitasi.
Penggunaan makelar menyebabkan praktik tebusan sulit untuk diusut. Tantangannya, menurut Totok, terletak pada pembuktian aliran uang dari perantara ke oknum penegak hukum dan kaitannya dengan penghentian kasus narkoba.
“Kita enggak bisa buktikan, karena kan enggak ada yang mau transfer,” ia menjelaskan. Baginya, ancaman proses pidana hanya akal-akalan oknum untuk mendapat uang.
Instrumen hukum saat ini sebenarnya sudah mengakomodasi agar pengguna narkoba tidak dipidanakan. Semua jenjang penegak hukum, telah mengeluarkan pedoman penanganan pengguna narkoba.
Polri melalui Peraturan Polri 8/2021, Kejaksaan Agung melalui Pedoman 18/2021, dan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran 04/2010. Aturan internal di setiap instansi tersebut punya benang merah pendekatan yang sama: mendorong penyelesaian perkara ke arah restorative justice.
Pengguna narkoba tidak diganjar sanksi pidana, melainkan direhabilitasi. Masalahnya, publik masih belum sepenuhnya paham regulasi mengenai narkoba. Alhasil mereka mudah terintimidasi gertakan oknum nakal.
Di sisi lain, menurut Totok, proses untuk mendapatkan rehabilitasi juga tidak mudah. Sejumlah persyaratan dan prosedur tertentu perlu dilalui. Ia bilang, yang jadi problem ialah, “Ada celah-celah yang kemudian bisa dimainkan.”
Mekanisme rehabilitasi bagi pengguna merujuk pada pasal 127 ayat 3 Undang-Undang 35/2009 tentang Narkotika. Institusi penegak hukum sudah punya kesepakatan mengenai kategorisasi pengguna narkoba.
Patokan kriteria seseorang dikategorikan sebagai pengguna merujuk pada batasan gramasi penggunaan harian. Misalnya, untuk ganja penggunaan hariannya di bawah 5 gram.
Ketika seorang kedapatan menguasai lebih dari 5 gram ganja, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai pengguna. Penyidik akan mengenakan pasal 112 yang mengatur mengenai orang yang secara melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I.
"Kalau pemakaian satu hari, kalau untuk digunakan lebih dari sehari, itu yang jadi debatable,” kata Totok
Di lapangan, pengguna narkoba biasa menyiapkan stok untuk beberapa hari. Mereka, dari pengalaman Totok, tidak mungkin membeli persedian setiap hari secara eceran.
Dengan alasan gramasi yang melebihi penggunaan harian, seorang pengguna akhirnya tidak memenuhi syarat untuk mendapat restorative justice.
Atau pengguna juga bisa dikenakan pasal 114 bila penyidik menemukan unsur membeli, menerima, atau menyerahkan narkotika golongan I ke orang lain. Misalnya, ketika terperiksa ternyata memberikan ke temannya. Akibatnya mereka tidak memenuhi kualifikasi pasal 127 sebagai pengguna.
Itu baru beberapa contoh celah yang sering dimainkan. Menurut Totok, banyak lubang yang bisa menarik pengguna ke wilayah abu-abu.
Sementara itu, penyidik punya kewenangan penuh dalam menetapkan pasal yang disangkakan. Muncullah kemudian tawaran-tawaran agar si pengguna bisa bebas dari jerat pasal.
Totok menilai, hal ini berlangsung sistemik. Ambiguitas peraturan dimanfaatkan oleh para pihak.
“Kemudian aturan-aturan itu diperjualbelikanlah bahasanya,” papar Totok.
Poengky Indarti, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, mengaku tahu ada praktik tebusan dalam kasus pengguna narkoba. Namun, institusinya sejauh ini belum secara khusus melakukan kajian mengenai hal tersebut.
Pengguna narkoba, kata dia, harus direhabilitasi berdasarkan rekomendasi oleh tim asesmen terpadu. Hal berbeda berlaku bagi pengguna narkoba kambuhan yang sudah beberapa kali tertangkap polisi.
Menurutnya, terdapat simbiosis mutualisme di balik fenomena transaksional itu. Pengguna narkoba ingin bebas. Di sisi lain, dan si oknum petugas bisa mendapat uang.
Karena itu, ia tidak setuju jika publik hanya menyalahkan oknum polisi semata. Ia menegaskan praktik "uang tebusan" merupakan pelanggaran hukum di kedua pihak.
"Baik yang membayar maupun yang dibayar seharusnya diproses pidana," ucapnya. Poengky menambahkan, perlu pengawasan yang lebih ketat untuk memberantas praktik-praktik uang tebusan di perkara penggunaan narkoba.
Reporter: Patrick Damanik
Editor: Jenar