Berpikir Kritis Minim di Pematangsiantar

Murid SMP Taman Siswa (Tamsis) di Pematangsiantar. (Foto: PARBOABOA/Rizal)

Ini Soal Pentingnya Menjadi Kritis

PARBOABOA, Pematangsiantar – Hidup di era postmodernisme memang beda jauh dibandingkan dengan era modernisme.

Kalau dulu, orang-orang sibuk mencari kebenaran yang pasti dan mendasarkan segalanya pada ilmu pengetahuan dan logika.

Sementara sekarang, banyak yang justru meragukan hal-hal yang dianggap sebagai kebenaran universal. Artinya, tidak ada lagi kebenaran tunggal, semua lebih relatif dan bisa dilihat dari berbagai sudut pandang.

Di tengah perubahan cara berpikir ini, muncul tantangan baru, bagaimana caranya membedakan antara fakta dan kebohongan di tengah lautan informasi yang begitu luas dan cepat tersebar lewat media sosial.

Informasi beredar dengan sangat cepat, kadang-kadang bahkan lebih cepat dari kemampuan kita untuk memeriksanya.

Generasi muda, terutama pelajar, jadi kelompok yang paling rentan terkena dampaknya, karena mereka aktif banget di dunia digital.

Mereka setiap hari dihadapkan pada tugas berat untuk memilah mana info yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang cuma sekadar hoaks.

Kemampuan berpikir kritis pun jadi makin penting. Dengan berpikir kritis, kita bisa menganalisis informasi, memeriksa sumbernya, dan membuat keputusan bijak berdasarkan fakta yang ada.

Di sini, peran sekolah dan guru tidak bisa diabaikan. Mereka harus bisa jadi tempat dan sosok yang membimbing siswa untuk punya kemampuan ini.

Sayangnya, banyak siswa yang merasa belum benar-benar diajarkan cara berpikir kritis. Itu kata Sakura (13), Siswi kelas delapan di SMP N 4 Pematangsiantar.

"Setahu saya, berpikir kritis itu berarti berpikir menggunakan logika. Saya tahu itu dari buku ensiklopedia, bukan dari guru," tuturnya kepada PARBOABOA, Kamis (22/8/2024).

Hal ini membuat Sakura tak percaya diri untuk berdiskusi dengan guru secara leluasa, meskipun dirinya adalah juara pertama di kelas. Dia takut salah kata dan tidak bisa mempertahankan argumennya sehingga bisa mendapatkan hukuman.

Sehari-harinya, Sakura lebih mengandalkan media sosial seperti TikTok, Instagram dan YouTube untuk menerima dan menyaring informasi.

"Media sosial sekarang tempat sumber informasi yang luas, di mana ilmu pengetahuan juga bisa diperoleh di situ. Dengan bantuan ponsel, saya menyaring informasi yang diterima dari berbagai aplikasi media sosial.”

Roksen (14), siswa kelas delapan di Taman Asuhan Pematangsiantar, malah tidak paham sama sekali soal ‘berpikir kritis’. Dia merasa, konsep tersebut tidak pernah diajarkan di sekolahnya.

"Ketika menerima informasi dari media sosial, saya langsung mempercayainya. Karena informasi di media sosial disajikan dalam bentuk video, itu membuat dapat dipercaya.”

Bahkan, kalau ada video yang aneh seperti dua matahari terbit, Roksen memilih untuk langsung percaya. "Lagi pula, saya merasa lelah memikirkan mana informasi yang benar atau salah, jadi lebih memilih untuk mempercayai apa yang saya lihat," ujarnya dengan tenang.

Beralih ke jenjang lebih tinggi, ada Nabila Aulia, siswi kelas sebelas di SMKN 1 Pematangsiantar, yang merasa belajar berpikir kritis hanya didapatkan sedikit saja, itu pun ketika pelajaran kewarganegaraan.

Namun, kalau menemukan informasi di media sosial, Nabila mengaku tidak langsung percaya dan lebih suka mengecek terlebih dahulu di ‘Google’.

"Karena dalam proses belajar, jika ada materi yang tidak dipahami, guru sering meminta kami mencari informasi tambahan di Google.”

Sementara jika informasi tersebut berasal dari ‘seseorang yang dipercaya’, maka Nabila akan mempercayainya tanpa memeriksa lebih lanjut.

Berbeda dengan Dika Pranoto, siswa kelas sepuluh SMA Kartika Pematangsiantar, yang tidak memahami arti berpikir kritis. Dia mengira berpikir kritis adalah berpikir hingga kritis (sakit).

Dika mengaku pernah diajarkan tentang berpikir bernalar, tetapi karena pembelajaran tidak begitu jauh membuat dirinya tidak tertaik untuk menyimak.

“Jika menyaring informasi di media sosial, saya membaca komentar pada postingan untuk menentukan apakah informasi tersebut dapat dipercaya.”

Pembelajaran Sengaja Dibuat Tanggung?

Banyaknya informasi dari media sosial di era postmodernisme ini dinilai dapat berdampak negatif pada mental anak muda.

Oleh karena itu, menurut Tumpak Winmark Hutabarat, seorang pegiat literasi, seseorang perlu memiliki prinsip dasar dan referensi yang kuat dalam hidup.

"Tanpa referensi yang jelas, seseorang mudah tergoyahkan, menjadi skeptis, atau bahkan apatis terhadap segala informasi yang diterima," tuturnya kepada Parboaboa, Kamis (08/08/2024).

Contohnya ketika mempelajari sejarah, di mana banyak sumber informasi yang tersedia, sehingga berpikir kritis sangat diperlukan untuk menyaring berbagai perspektif.

Generasi muda penting untuk meningkatkan literasi, termasuk melalui pembelajaran filsafat atau disederhanakan menjadi critical thinking, yang manfaatnya tidak akan pernah usang.

Tapi sayangnya, Tumpak menilai bahwa hal ini belum diajarin dengan baik di sekolah-sekolah. Walaupun ada di beberapa pelajaran seperti antropologi dan sosiologi, tapi pendekatan yang diajarkan masih kurang.

Dia bahkan mengaku curiga kalau beberapa guru mungkin sengaja membuat pelajaran terasa tanggung, agar mendorong siswa untuk mengikuti bimbingan belajar demi menambah pemasukan mereka.

Selain dari luar, Tumpak juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan literasi agar melatih anak untuk berpikir kritis.

Membawa anak-anak ke toko buku sebagai bagian dari upaya meningkatkan minat belajar mereka. Kebiasaan ini juga harus dimulai dari contoh yang diberikan orang tua.

“Orang tua harusnya sering membaca di hadapan anak-anak mereka untuk menumbuhkan kebiasaan membaca.”

Kurikulum Merdeka

Di sisi lain, Sekretaris Dinas Pendidikan Pematangsiantar, Simon Tarigan, menjelaskan kalau sekarang sekolah-sekolah sedang menerapkan Kurikulum Merdeka, yang dirancang buat ngembangin minat dan bakat siswa, termasuk berpikir kritis.

"Siswa didorong untuk mengeksplorasi diri melalui berbagai kegiatan, seperti presentasi yang dilakukan setiap pagi," ujarnya kepada Parboaboa, Jumat (23/08/2024).

Presentasi ini menjadi ajang bagi siswa untuk berdiskusi dan membahas tema-tema tertentu, yang harapannya dapat melatih kemampuan berpikir kritis mereka.

Melalui interaksi dalam diskusi, siswa bisa melatih berpikir kritis, baik sebagai pihak yang menjelaskan maupun yang bertanya.

Simon menekankan, pendekatan ini berbeda dari metode pembelajaran di masa lalu, yang lebih berfokus pada teori dan pengertian.

"Sekarang siswa menjadi lebih aktif dalam proses belajar, sementara guru berperan sebagai mediator yang memfasilitasi pembelajaran," tambahnya.

Selain siswa, guru-guru juga diberikan pelatihan dalam literasi dan numerasi untuk memastikan bahwa pembelajaran di kelas menjadi menarik dan efektif, termasuk dalam pemilihan media pembelajaran yang sesuai.

Dinas Pendidikan akan memantau kinerja guru berdasarkan standar kompetensi yang mencakup kecerdasan pedagogik, sosial dan emosional.

Pemantauan dilakukan melalui Aplikasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang mencatat semua kegiatan secara teratur. Sistem ini memudahkan pemantauan dan evaluasi kinerja guru, memastikan pendidikan yang diberikan sesuai dengan yang ditetapkan.

Bersambung…
Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS