PARBOABOA - Yakub masih ingat jelas peristiwa awal Desember lalu yang kelak akan disesalinya. Suatu pagi (2/12/2023), ia kedatangan tiga orang warganya yang tergopoh.
Mereka membawa kabar yang membuat Yakub terkejut: ada warga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Korban adalah Devnisa Fitri (31), ibu muda dengan empat anak.
Ia tinggal mengontrak bersama anak-anak dan suaminya, Panca Darmansyah (41), di salah satu rumah di RT 004/003, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Yakub merupakan Ketua RT di lingkungan tersebut.
Devnisa diduga mengalami kekerasan fisik dari Panca. Mendapat informasi itu, Yakub gerak cepat.
"Sorenya saya (langsung) melapor ke Polsek Jagakarsa," kata Yakub kepada Parboaboa.
Di hari yang sama, polisi datang ke rumah kontrakan Panca. Mereka mendapati Devnisa mengalami pendarahan di mulut dan hidung.
Korban lantas dibawa ke Rumah Sakit Aulia, Jagakarsa. Meski korban babak belur, polisi tidak segera menahan Panca.
Panca dibiarkan tetap di kontrakan bersama empat anaknya. Polisi malah membantu memediasi suami-istri tersebut.
Bencana datang beberapa hari kemudian. Empat hari berselang, Rabu (6/12/2023), warga RT 004 mencium bau menyengat di kontrakan Panca.
Warga yang curiga lantas mendobrak pintu rumah. Di sana mereka menemukan empat anak terbujur kaku di kamar.
Sementara, Panca tergeletak di kamar mandi dengan kedua pergelangan tangan penuh luka dan berdarah. Panca diduga membunuh keempat anaknya, buntut cekcok dirinya dengan sang istri.
"Kalau waktu itu (bapak dan anaknya) dipisahkan polisi, (anaknya) pasti selamat," sesal Yakub.
Kasus KDRT yang dilakukan Panca rupanya bukan baru pertama terjadi. Ahmad Budi Suntoyo (47), yang tinggal tak jauh dari kontrakan Panca, sudah sering mendengar keributan tetangganya itu.
Kerap terdengar suara teriakan dari sana. Budi dan tetangga lain memilih tak ikut campur. Mereka menganggap persoalan Panca dan Devnisa sebagai urusan rumah tangga orang.
Sependek ingatannya, Devnisa pernah membuat laporan perihal KDRT yang dialaminya ke Polsek setempat.
"Setau saya lebih dari sekali," kata Budi.
Medio November lalu, misalnya, Devnisa dan Panca sempat terlibat keributan besar. Devnisa babak belur dihajar suaminya.
Budi tak mengetahui betul pangkal persoalannya. Beberapa warga bersama RT melaporkan peristiwa itu ke Polsek Jagakarsa. Namun, pihak Polsek menyarankan agar masalah diselesaikan secara kekeluargaan.
Panca tak ditahan. Ia hanya dimintai membuat surat keterangan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Di hadapan aparat dan warga, Panca mengaku bersalah dan meminta maaf.
"Bhabinkamtibmas ke sini memakai seragam benar sih, setelah itu dipanggil-lah RT RW setempat sudah dimediasi atau didamaikan," ungkap Budi.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Trunoyudo, enggan berkomentar banyak soal kasus ini.
Dikonfirmasi Parboaboa, Kamis (14/12/2023), Trunoyudo meminta menghubungi Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Pol Ade Ary Syam Indardi. Namun, Ade juga tidak merespons pesan Parboaboa.
Laporan Kasus KDRT di Bogor Dipersulit
Gagapnya polisi menangani kasus KDRT tidak hanya terjadi di Jagakarsa. Puluhan kilometer jauhnya dari sana, masih di wilayah hukum Polda Metro Jaya, nasib malang dialami Mulyani (52).
Suatu malam pertengahan November lalu, darah segar menetes dari bibir warga Parung Panjang, Kabupaten Bogor, itu. Wajahnya pucat, penuh luka lebam.
Wanita berdarah Tegal itu menjadi korban KDRT suaminya, IJ (58). Semua bermula karena dugaan perselingkuhan.
Suami Mulyani yang bekerja sebagai juru mudi taksi curiga istrinya punya lelaki simpanan. Ia lantas mengajak sang istri membahas masalah itu.
Namun, Mulyani yang mengaku kurang enak badan menolak permintaan tersebut. Pria paruh baya itu kembali dibikin kesal setelah Mulyani menolak ajakannya untuk tidur bareng di kamar. Ia langsung menghajar Mulyani hingga babak belur.
Ocha, Ketua RT 04/RW5 Perumnas 1, Parung Panjang, yang menerima laporan Mulyani, langsung membawanya ke Polsek Parungpanjang.
Personel Polsek Parung Panjang yang bertugas menyarankan agar korban untuk diantar ke rumah sakit. Ocha kemudian mengantar korban ke RSUD Kabupaten Tangerang.
Keesokan harinya, setelah berkoordinasi dengan korban dan pihak keluarga, Ocha kembali mendatangi Polsek Parung Panjang. Mereka ingin menyelesaikan kasus ini lewat jalur hukum.
Namun, korban diminta pulang untuk membawa sejumlah dokumen, seperti KTP, kartu keluarga (KK), dan surat nikah.
"Lalu saya ngomong, 'Pak surat-suratnya sudah tidak ada karena dibawa sama pelakunya semua, jadi saya ini hanya sekedar laporan bagaimana'," jelas Ocha.
Ia hanya ingin memastikan pelaku bisa segera ditahan untuk meminimalkan potensi kekerasan lanjutan. Terlebih, korban pernah mengaku sempat diancam pelaku dengan benda tajam.
Petugas SPKT Polsek Parungpanjang tetap tak mau membuatkan laporan polisi (LP). Bahkan, kata Ocha, Kanit Reskrim Polsek Parungpanjang sempat menelepon Kapolsek untuk menentukan langkah selanjutnya.
Tapi sang komandan tetap ngotot meminta bukti administrasi pernikahan. Kasus ini akhirnya sampai ke telinga Kapolres Bogor, AKBP Rio Wahyu Anggoro, setelah diviralkan majikan korban melalui media sosial.
Korban akhirnya mendatangi Unit PPA Polres Bogor dan laporannya diterima. Beberapa hari berselang pelaku berhasil ditangkap.
Belakangan AKBP Rio Wahyu Anggoro meminta maaf atas ketidakprofesionalan anggotanya dalam menangani kasu KDRT. Dua personel Polsek Parung Panjang dimutasi imbas kejadian tersebut.
Kejadian di Jagakarsa dan Parung Panjang hanya sekelumit gambaran masalah penanganan kasus KDRT.
Kasus KDRT Mangkrak di Meja Polisi
Problem penyelesaian kasus KDRT lewat jalur hukum juga terekam dalam catatan LBH Apik Jakarta.
Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH Apik, Tuani Sondang Rejeki Marpaung menyebut, banyak aduan kasus KDRT yang berhenti di meja aparat.
"Penegak hukumnya yang memang benar-benar tidak melayani masyarakat," kata Tuani kepada Parboaboa, Selasa (19/12/2023).
Merujuk laporan LBH Apik tahun 2023, di wilayah hukum Jabodetabek saja, persentase kasus KDRT yang diproses secara tuntas terbilang sangat rendah.
Hal ini, kata dia, sekaligus mengonfirmasi rendahnya keseriusan aparat dalam penanganan kasus KDRT.
"Dalam laporan pengaduan di Jabodetabek itu sebanyak 1.140 kasus, tapi untuk proses benar-benar diselesaikan oleh kepolisian hanya 5 persennya saja gitu," ungkapnya.
Selain itu, aparat kepolisian juga terkesan membiarkan kasus KDRT berlarut-larut. Tuani menilai, tidak ada keberpihakan serius dari penegak hukum bagi para pencari keadilan, terutama para korban kekerasan.
"Karena hal ini proses hukumnya yang panjang dari satu tahun, dua tahun hingga tiga tahun, tidak ada keadilan gitu dan sangat tidak profesional," ungkap Tuani.
Cut Bietty, advokat LBH Apik Jawa Barat, menilai minimnya pemahaman aparat kepolisian menjadi salah satu alasan lambatnya proses penanganan kasus KDRT. Mereka cenderung sibuk dengan persoalan administratif
Padahal, Undang-Undang KDRT itu sudah ada sejak 2004. Tapi, implementasinya hingga kini jauh panggang dari api.
"Di sana juga disebutkan dalam tempo 24 jam itu kepolisian harus proaktif gitu tapi faktanya masih banyak korban-korban KDRT yang dikecewakan," ungkap Bietty.
Berdasarkan data LBH Apik Jawa Barat, hanya 25 persen kasus KDRT yang bisa dituntaskan.
Penanganan KDRT Masih Minim Perspektif Gender
Komisioner Kompolnas RI, Poengky Indarti, tak menampik bahwa masih banyak catatan yang perlu dibenahi aparat kepolisian dalam menangani kasus KDRT.
Poengky bilang, selain persoalan administratif, minimnya perspektif gender para penyidik juga jadi pangkal masalah.
"Sehingga terkadang bergerak lambat dan akibatnya fatal," kata Poenky kepada Parboaboa, Kamis (14/12/2023).
Menurut Poengky, aparat kepolisian perlu menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan yang harus dilindungi. Hal ini akan membantu polisi untuk sesegera mungkin memproses aduan korban KDRT, dan memisahkannya dengan pelaku.
"Harus dicegah dengan menanamkan pada pimpinan untuk alert terhadap laporan kasus KDRT, sehingga dapat segera memerintahkan penahanan kepada pelakunya," ungkap Poengky.
Di sisi lain, cara berpikir yang menganggap persoalan KDRT hanya masalah internal keluarga, juga bisa menyumbat langkah aparat untuk bertindak cepat. Poengky mencontohkan kasus di Jagakarsa, di mana polisi tidak langsung menahan pelaku dengan dalih yang bersangkutan menjaga 4 anaknya.
Padahal, kata dia, anak dalam keluarga yang terlibat KDRT berada dalam posisi rentan. Bukan tidak mungkin mereka juga menjadi sasaran kekerasan.
"Kami khawatir mindset berpikir yang keliru bisa menghambat anggota untuk berpikir dan bertindak cepat," tegasnya.
Ia menyoroti belum adanya unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di polsek-polsek. Selama ini unit PPA hanya berada di polda atau polres. Tak ayal hal ini membuat penyidik di polsek tidak memiliki kapasitas mumpuni dalam menangani kasus KDRT.
Poengky mendesak Polri untuk melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman ke para penyidik polsek terkait penanganan kasus KDRT. Hal ini penting dilakukan agar para penyidik di tingkatan Polsek memahami proses penangan KDRT yang berpihak pada korban.
"Agar SPKT dan para penyidik Polsek memahami bagaimana menangani kasus-kasus KDRT yang levelnya berpotensi tidak hanya melukai tetapi juga dapat menghilangkan nyawa korban," ungkap Poengky.
Pentingnya Memahami Psikologi Pelaku KDRT
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, menyayangkan lambannya aparat kepolisian memproses kasus KDRT. Pihak kepolisian, kata Reza, semestinya lebih responsif dengan masalah tersebut.
Kasus Jagakarsa bisa menjadi pengingat, bahwa penanganan masalah KDRT yang lamban justru akan memberikan efek yang lebih buruk.
"Polisi harus merespon secepat mungkin laporan atau begitu menerima kabar tentang KDRT," kata Reza kepada Parboaboa, Jumat (15/12/2023).
Menurut Reza, penanganan kasus KDRT memang memerlukan keterampilan khusus. Polisi wajib diberi pemahaman yang memadai soal ini, termasuk dari aspek psikologis.
Sebab, bagi Reza, tindakan kekerasan tak pernah terlepas dari persoalan psikologis pelaku.
Dengan begitu, polisi setidaknya bisa mendeteksi masalah psikologis yang mendorong pelaku nekat melakukan tindakan kekerasan.
Reza juga menyarankan, sudah saatnya polisi memikirkan strategi penyelesaian kasus KDRT yang lebih komprehensif.
"Tidak cukup lagi penyikapan kasus per kasus. Butuh program berskala luas untuk mengatasi KDRT," kata Reza.
Kriminolog UI, Adrianus Meliala, juga menyentil cara polisi menangani KDRT. Menurutnya, KDRT seringkali menggambarkan pola yang umum, seperti yang terjadi di Jagakarsa.
Dalam kebanyakan kasus, setelah istri menjalani perawatan di rumah sakit, ada kecenderungan untuk memaafkan suami dan menarik pengaduan agar suami tidak ditahan.
"Pada waktu-waktu ke depan, suami akan mengulangi KDRT kembali. Begitu seterusnya," kata Adrianus kepada Parboaboa, Jumat (16/12/2023).
Karena itu, polisi perlu menyiasatinya dengan melakukan penahanan terhadap pelaku, demi mencegah tindakan fatal lainnya.
Reporter: Hari Setiawan