PARBOABOA, Jakarta - Aksi propaganda antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) masih terus berlanjut.
Baru-baru ini, Korut menerbangkan ratusan balon berisi sampah yang kemudian tersebar hingga ke Seoul, ibu kota Korsel.
Ratusan balon sampah yang dikirim sejak Mei 2024 ini sukses mengganggu penerbangan sejumlah pesawat di Korea Selatan.
Catatan terbaru Kementerian Transportasi Korsel dikutip dari AFP bahkan menyebutkan, sebanyak 115 penerbangan komersial di Korsel terganggu imbas balon sampah Korut.
Belum lagi belasan pesawat dari penerbangan luar negeri termasuk Amerika Serikat yang terpaksa melakukan pendaratan alternatif di bandara selain Incheon.
Kondisi tersebut membuat penumpang terpaksa mengalami perjalanan dan delay panjang, sebelum akhirnya mencapai Bandara Incheon di Seoul.
Tak hanya itu, sekira 10.000 penumpang juga terdampak imbas pengiriman balon-balon sampah dari Korut ini.
Anggota Parlemen Korea Selatan, Jeong Jun Ho, mendesak pihak berwenang untuk mengambil tindakan guna mencegah aktivis mengirim balon selebaran ke Korea Utara.
Hanya saja, Pemerintah Korsel tidak bisa memberikan sanksi kepada aktivis atas tindakan mereka. Hal ini disebabkan oleh putusan pengadilan Korea Selatan yang menganggap larangan terhadap aktivitas aktivis sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berbicara.
Berbagai Aksi Propaganda Korsel-Korut
Pengiriman balon berisi sampah seperti plastik, puntung rokok, kertas sampah, kain bekas, pupuk kandang hingga kotoran manusia dari Korea Utara ini merupakan aksi saling balas terhadap kiriman balon berisi musik K-pop, uang dollar dan selebaran propaganda anti-Kim Jong Un oleh aktivis Korea Selatan.
Pyongyang, khawatir informasi dari luar seperti selebaran yang dikirim aktivis Korsel ini menimbulkan ancaman bagi pemimpin tertinggi mereka, Kim Jong Un.
Sementara itu, Korea Utara telah beberapa kali menyerukan kepada Korea Selatan untuk menghentikan pengiriman balon berisi selebaran tersebut.
Selain selebaran anti-korut ke Pyongyang, Korsel juga memasang puluhan sepiker (speaker) atau pengeras suara di perbatasan keduanya.
Pengeras suara ini dirancang untuk melancarkan perang psikologis dengan menyiarkan pesan-pesan politik dan musik pop atau K-Pop dengan radius 10 kilometer.
Korsel menilai, speaker yang dipasang cukup menjangkau kota Kaesong di Korut yang berpenduduk hampir 200 ribu jiwa.
Menanggapi aksi ini, sekitar 20 hingga 30 militer Korut melintasi garis demarkasi militer atau garis perbatasan kedua negara pada pertengahan Juni lalu.
Korut juga membangun jalan dan tembok di dalam zona demiliterisasi perbatasan dengan Korsel.
Korut-Korsel Belum Benar-benar Berdamai
Korea Utara dan Korea Selatan secara teknis masih berperang hingga saat ini.
Kondisi ini terjadi karena Perang Korea yang berlangsung pada 1950-1953 silam hanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan sebuah kesepakatan damai.
Meski terjadi gencatan senjata, namun perang propaganda terus dilakukan kedua negara.
Oleh karenanya, Pemerintah Korea Selatan hingga saat ini terus memberlakukan wajib militer selama dua tahun kepada warga laki-lakinya yang berusia 18 hingga 28 tahun.
Salah satu alasan memberlakukan wajib militer yaitu terciptanya kesepakatan damai.
Termasuk berbagai ancaman berkelanjutan Korea Utara ke Korea Selatan terkait serangan nuklir hingga saat ini.