Balada Kawin Kontrak: Berebut Cuan di Kocek Pria Timur Tengah

Kawasan Puncak Bogor yang sering dijadikan tempat praktik kawin kontrak turis turis dari Timur Tengah. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

PARBOABOA - Matahari sudah terbenam. Adzan maghrib tak lagi berkumandang. Naya, sebut saja begitu, berdiri di sebuah lorong sempit di kawasan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dandanannya tak mencolok. Ia hanya mengenakan daster kusam dan kain penutup kepala yang menyerupai hijab. Parboaboa bersua dengan Naya pada Sabtu (21/09/2024) akhir pekan lalu.

Naya merupakan satu dari sekian banyak perempuan yang terperangkap dalam pusaran kawin kontrak di kawasan Puncak Bogor.

Semua bermula pada tahun 1984 silam. Saat itu, Naya masih berumur 17 tahun. Seorang kerabat menawarinya kawin kontrak dengan pria Timur Tengah. Durasinya hanya sebulan.

Perempuan asal Garut itu diiming-imingi uang 10 juta rupiah, jumlah yang cukup fantastis kala itu. Kondisi neraca keuangan keluarga yang tidak stabil, membuat Naya tergoda. Ia pun menerima tawaran itu.

Sebagai perempuan tertua dari tujuh bersaudara, Naya merasa punya beban moral. Ia tak bisa berharap banyak dari orang tuanya yang hanya bekerja serabutan.

“Untuk memperbaiki gubuk di Garut. Soalnya udah pada rusak. Kasian keluarga,” cerita Naya mengenang.

Meninggalkan kampung halaman dengan memanggul sebagian beban keluarga di pundaknya, bukanlah perkara mudah bagi Naya. Meski berat, keputusan itu terpaksa harus diambil.

Ia kemudian pindah ke kota santri. Tak ada bekal yang ia siapkan, selain ongkos transportasi dan pakaian yang menempel di badan.

Naya bertemu kerabatnya di warung kaleng, salah satu lokasi populer di kawasan puncak Cisarua, yang memikat banyak wisatawan Timur Tengah.

Secara administratif, warung kaleng terletak di Kampung Sampay, Desa Tugu Selatan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Turis asal Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Bahrain dan Qatar memang mengidolakan Kampung Sampay sebagai salah satu destinasi wisata favorit.

Selepas pertemuan itu, Naya diajak tinggal bersama kerabatnya selama sehari sebelum perkawinan digelar.

Ia mengaku tidak dipertemukan dengan calon suaminya. Naya baru bertemu saat prosesi kawin kontrak yang berlangsung di sebuah villa di kawasan Cisarua, Bogor.

“Villanya di depan ini. Nggak jauh kok dari sini (lokasi kontrakan Naya),” jelas Naya sambil menunjuk ke arah lokasi Villa yang dimaksud.

Akad nikah kawin kontrak sebetulnya tak berbeda jauh dengan pernikahan pada umumnya. Ada mempelai, saksi, dan penghulu. Naya dirias layaknya seorang pengantin.

Hanya saja, para saksi dan penghulu yang terlibat adalah orang-orang bayaran. Mereka umumnya calo atau yang sering disebut ‘biong’ oleh masyarakat setempat.

Bagi Naya, prosesi perkawinan tanpa kehadiran keluarga, terasa begitu hambar. Jalan hidup yang kurang beruntung membuat perempuan paruh baya itu tak punya pilihan lain.

Setelah akad nikah, ia diboyong ke villa milik suami kontraknya. Suatu malam, Naya tiba-tiba menangis. Ia merasa belum siap melepas kegadisannya dengan seorang pria yang tak dicintainya.

“Nangis lah kang. Takut juga. Cuman ya mau gimana lagi,” kenang Naya.

Suasana di Kampung Sampay, Kawasan Puncak Bogor pada siang hari. Daerah ini sudah lama dikenal sebagai Kampung Arab lantaran begitu banyaknya Orang Arab atau Timur Tengah yang berlibur ke sana. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

Sesuai kesepakatan awal, Naya harus menjadi istri kontrak selama sebulan. Pekerjaannya memang tak begitu rumit. Ia hanya memenuhi nafkah batin dan menjaga mood sang suami.

Urusan dapur menjadi tanggung jawab pembantu. Kebutuhan finansial juga terpenuhi. Beberapa kali Naya diajak sang suami berbelanja barang-barang mewah.

Naya sempat dibelikan emas sebelum kawin kontrak berakhir. Sialnya, “itu emas imitasi,” ucap Naya sambil tertawa.

Selepas kontrak berakhir, ia juga hanya menerima uang 4 juta rupiah dari kerabatnya. Naya mengaku kaget lantaran tak sesuai kesepakatan awal.

“Katanya sih dipotong untuk bayar saksi dan penghulu,” jelasnya.

Meski mengaku kecewa, Naya tak bisa berbuat banyak. Ia menerima uang tersebut dan memutuskan kembali ke Garut.

Naya rupanya tak kuasa memendam masalah seorang diri. Kepada kedua orang tuanya, ia memberanikan diri berkata jujur.

“Nangis lah kang. Orang tua kan mikirnya aku nikah sah,” katanya.

Dua tahun berselang, Naya kembali ditawari kawin kontrak oleh sahabatnya. Saat itu, ia dijanjikan sejumlah uang untuk membangun pipa saluran air ke rumahnya.

Kondisi itu memaksa Naya kembali ke masa lalu. Kawin kontrak kedua juga berdurasi satu bulan. Naya mendapatkan bayaran sebesar 5,5 juta rupiah.

“Soalnya sumber air jauh dari rumah, kang. Kasian orang tua. Makanya butuh uang biar air bisa masuk ke rumah,” jelasnya.

Selama dua kali menjalani kawin kontrak, Naya mengaku kesulitan berkomunikasi dengan kedua suaminya yang berbahasa Arab.

Mereka menyiasatinya dengan menggunakan bahasa isyarat. “Kalau pengen ‘gituan’, dia ngomong hei sambil nunjuk-nunjuk ke kamar,” ucap Naya.

Kawin kontrak pada akhirnya membawa Naya jatuh ke lubang prostitusi yang lebih dalam. Ia beralih profesi menjadi wanita panggilan atau ‘dawar’– sebutan oleh masyarakat setempat.

Adik keduanya, Mirna, bukan nama sebenarnya, juga terjebak dalam lingkaran yang sama. Setelah kawin kontrak dengan beberapa pria Arab, Mirna mengikuti jejak kakak tertuanya itu menjadi seorang dawer.

Hanya saja, nasib Naya tak seberuntung adiknya. Mirna saat ini tak lagi bekerja sebagai dawer. Ia menjadi ibu rumah tangga setelah dipersunting pria lokal Batak.

Persoalan ekonomi memang kerap menyeret sejumlah perempuan untuk melakukan kawin kontrak dengan pria Timur Tengah. Dinar, sebut saja begitu, juga mengalami kondisi serupa.

Perempuan asal Sukabumi itu sudah 4 kali kawin kontrak dengan lelaki Arab. Ia ditawari seorang kepala biong di daerahnya pada 2006 silam, dengan iming-iming uang 10 juta rupiah.

“Karena kan di situ saya masih perawan aa. Kalau masih perawan itu mahal aa,” jelas Dinar.

Sama seperti Naya, benturan ekonomi yang menghantam jantung keluarga memaksa Dinar menerima tawaran tersebut.

Ia mengaku, kawin kontrak banyak membantu perekonomian keluarga. Rumah orang tuanya di Sukabumi direnovasi oleh suami keempatnya saat itu.

“Cowok-cowok Arab itu royal-royal aa. Gak pelit. Apalagi kalau dia udah suka sama kita,” katanya.

Dinar juga dikaruniai seorang putri dari perkawinannya yang terakhir. Hingga saat ini, mantan suaminya itu masih memenuhi kebutuhan bulanan mereka.

“Untuk kebutuhan sekolah dan hidup setiap bulannya dia bisa transfer 50 juta rupiah,” jelas Dinar.

Naya, bukan nama sebenarnya, mengaku melakukan praktik kawin kontrak karena tuntutan ekonomi. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Praktik kawin kontrak di Puncak Bogor adalah cerita usang dengan pola permainan yang cukup terstruktur. Pengakuan Reinal, bukan nama sebenarnya, menguatkan hal tersebut.

Reinal merupakan mantan calo kawin kontrak sejak tahun 2006 hingga 2012. Saat itu, ia bekerja sebagai supir jemputan untuk pria-pria Timur Tengah yang berlibur ke daerah Puncak.

Para tamu sering meminta Reinal mencarikan gadis lokal yang bersedia untuk kawin kontrak. “Kadang juga saya nawarin ke mereka, kang,” ucapnya.

Setelah ada kesepakatan, ia segera menghubungi kepala biong yang tersebar di sejumlah daerah  seperti Cianjur, Cipanas, Sukabumi, dan Garut.

Mayoritas perempuan yang diincar, juga berasal dari empat wilayah ini. Harga yang dipatok bervariasi; dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, sesuai kriteria para kliennya.

“Kalau perempuannya masih perawan itu harganya mahal, kang,” kata Reinal.

Ia biasanya mendapat jatah 2 juta hingga 3 juta rupiah dari kepala biong. Jika ingin mendapat pemasukan lebih, Reinal biasanya mengakali pelanggannya.

“Saya tunjukin aja foto-foto perempuan yang jelek. Dia (kliennya) nolak. Habis itu, saya minta uang transport lagi kang buat nyari,” cerita Reinal sambil tertawa. 

Akad kawin kontrak dilakukan di villa-villa tempat tinggal klien. Para saksi, wali orangtua mempelai perempuan, hingga penghulu merupakan orang-orang suruhan. Tak ada pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA).

“Aparat Pemerintah dan KUA gak terlibat kang. Semua itu murni kerjaan para biong,” katanya.

Perempuan yang ingin kawin kontrak biasanya mendapat jatah 50 persen dari mahar yang diberikan. Sisanya akan dibagikan ke kepala biong.

Namun, kata dia, tak jarang mereka hanya kebagian mahar di bawah 30 persen, jauh dari kesepakatan awal.

“Kalau yang masih baru biasanya gampang ditipu kang. Jadi, bisa cuman dikasih gak sesuai perjanjian di awal,” ungkap Reinal.

Sependek ingatannya, awal tahun 2000 hingga 2012 menjadi puncak maraknya praktik kawin kontrak. Tren tersebut mulai melandai saat ini.

Menurut Reinal, kebanyakan pria Timur Tengah yang melancong ke Puncak lebih memilih menggunakan jasa pekerja seks komersial (PSK).

Belum lagi razia aparat kepolisian yang menurutnya semakin masif. Banyak pria Timur Tengah yang takut ditangkap dan dideportasi ke negara asal mereka.

“Teman-teman saya yang masih aktif jadi biong kawin kontrak udah banyak juga yang ditangkap kang sama polisi,” jelasnya.

Praktik kawin kontrak memang bertentangan dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Beleid tersebut menjelaskan, pernikahan harus dilakukan dengan niat yang sah dan berlangsung secara permanen, tanpa batasan waktu.

Kawin kontrak, yang biasanya memiliki durasi tertentu dan tidak dicatat secara resmi, melanggar prinsip-prinsip ini, sehingga status hukum pernikahan menjadi tidak jelas.

UU Perkawinan menekankan pentingnya pencatatan pernikahan di KUA untuk menjamin hak-hak pasangan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Dalam praktik kawin kontrak, karena tidak ada pencatatan resmi, anak-anak yang lahir dari hubungan ini tidak memiliki status hukum yang jelas. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah dalam hak waris dan perlindungan hukum.

Tak hanya itu, pernikahan mut'ah atau kawin kontrak juga bertentangan dengan ajaran Islam. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur, KH Abdul Rauf, menganggapnya tidak sah dan haram.

Rauf mengacu pada fatwa yang dikeluarkan MUI sejak 25 Oktober 1977, bahwa praktik kawin kontrak tidak sesuai dengan tujuan syariat akad nikah.

Menurutnya, tujuan utama pernikahan adalah untuk membangun keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan yang sah.

"Pernikahan harus berlangsung tanpa batasan waktu, sesuai dengan ketentuan agama," tegas Rauf kepada Parboaboa, Selasa (25/9/2024) lalu.

Ketua MUI Kabupaten Cianjur, KH. Abdul Rauf. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

Secara historis, kata dia, nikah mut'ah sempat diizinkan di masa Rasulullah SAW, terutama pada saat perang, ketika banyak laki-laki Muslim jauh dari keluarga mereka.

Namun, setelah keadaan kembali normal, nikah mut'ah dilarang karena bertentangan dengan tujuan hakiki pernikahan, yakni membangun ikatan yang langgeng.

Rasulullah SAW pun mempertegas larangan ini dalam hadis HR. Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa'i yang menyatakan bahwa nikah mut'ah telah diharamkan hingga hari kiamat.

Meski begitu, Rauf melihat masih ada perbedaan pandangan mengenai hukum nikah mut'ah. Ulama Sunni sepakat bahwa nikah mut'ah haram, sementara ulama Syiah memandangnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan.

Miftahatul Qalbi, dalam sebuah penelitian pada tahun 2020 menyebutkan bahwa pandangan ulama Sunni mengharamkan nikah mut'ah, sementara ulama Syiah tetap memperkirakan sah.

Dalam pandangan Syiah, hubungan yang terjalin melalui nikah mut'ah dianggap sah dan tidak diharamkan oleh Allah. Wanita yang dinikahi dalam ikatan mut'ah juga berhak atas mahar, layaknya pernikahan pada umumnya.

Namun, pandangan ini ditolak oleh ulama Sunni, yang meyakini pernikahan tanpa batas waktu adalah satu-satunya bentuk pernikahan yang sah di dalam Islam.

Cendekiawan Muslim, M. Quraish Shihab, dalam bukunya 'Perempuan dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah', juga menegaskan hal serupa.

Perempuan yang dinikahi melalui nikah mut'ah, tulis Quraish Shihab, tidak dianggap sebagai istri sah menurut ajaran Sunni.

Islam hanya mengakui dua cara penyaluran hasrat seksual: melalui pernikahan langgeng atau kepemilikan budak. Oleh karena itu, segala bentuk hubungan seksual dalam nikah mut'ah dianggap haram.

"Nah, adapun yang punya pemahaman itu (memperbolehkan kawin kontrak-red) adalah ajaran Syiah. Itu sah-sah saja. Itu urusan mereka. Tapi yang jelas bahwa itu tidak diperbolehkan di sini."

Rauf juga menyinggung praktik kawin kontrak yang masih marak terjadi, terutama di wilayah Puncak dan Kampung Arab, meski MUI sudah mengeluarkan fatwa.

“MUI sudah memberikan panduan yang jelas mengenai kawin kontrak ini. Fatwa-fatwa MUI dapat diakses dengan mudah di berbagai sumber,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia mendorong upaya sosialisasi kepada masyarakat. Sejauh ini, MUI Cianjur terus melakukan edukasi agar masyarakat memahami hukum Islam dengan benar, terutama dalam hal pernikahan.

Dengan demikian, umat Islam dapat menjalankan ajaran agama sesuai tutunan yang benar dan menghindari praktik-praktik yang dilarang oleh syariat.

“Tugas kami, para ulama, adalah membimbing umat agar melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam hal pernikahan,” tutupnya.

Reporter: Calvin Vadero Siboro, Rahma Dhoni

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS