PARBOABOA, Pematangsiantar - Wawancara Parboaboa dengan salah satu musisi lokal pematangsiantar, Guido Firdaus Hutagalung seketika berhenti.
Suara keras seorang pengamen membuyarkan konsentrasi. Ia bernyanyi sekuat tenaga menggunakan speaker, tanpa mempedulikan perasaan orang-orang sekitar.
Namun, siapa sangka kejadian ini justru mengungkap tabir permasalahan mendasar dunia seni di kota terbesar kedua di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) ini.
Sambil melihat ke arah pengamen, Guido yang juga merupakan vokalis grup band Punxgoaran mengutuk kejadian tersebut akibat minimnya pemahaman etika bermusik.
"Ini salah satu dampak dari kurangnya edukasi mengenai seni," ujar Guido, kepada Parboaboa, Sabtu (30/3/2024).
Padahal, kata dia, ia bisa saja bernyanyi dan bermusik dengan lebih indah tanpa membuat pendengar merasa terganggu.
Meski begitu, Pria 40 tahun ini tak sepenuhnya menyalahkan sang pengamen.
Menurut dia, etika berseni hanya bisa dipahami dengan edukasi yang memadai. Tetapi sayangnya, Kota Pematangsiantar belum memfasilitasi potensi-potensi ini dengan serius.
Salah satu bukti ketidakseriusan itu adalah, sampai sekarang, Pemkot belum menyediakan ruang-ruang khusus untuk ekspresi dan edukasi seni.
"Tapi bagaimana itu bisa dipenuhi, sedangkan di kota ini tidak ada wadah yang menyediakan ruang untuk diskusi dan memberikan edukasi mengenai seni," ucapnya.
Guido termasuk salah satu seniman yang telah lama menginginkan adanya ruang ekspresi seni di Pematangsiantar, seperti amfiteater.
Tetapi karena tak kunjung direspon, ia pesimis, pemerintah tak mengapresiasi dan mendukung karya-karya seniman lokal.
"Rasa peduli Pemkot Siantar untuk para penggiat seni di kota Pematangsiantar itu sama sekali tidak ada," kata dia dengan tegas.
Selama ini, memang sempat terjalin diskusi antara pegiat seni dengan Pemkot tetapi tidak produktif.
Kata Guido, hal itu hanya mau menunjukkan ada aktivitas semata, tidak didukung langkah konkret pembangunan seni dan budaya.
Guido menambahkan, pegiat seni memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan kota terutama di bidang seni dan budaya. Hanya saja, Pemkot belum sepenuhnya sadar.
"Pematangsiantar memiliki sejumlah seniman berbakat seperti Siantar Rap Foundation dan seniman lainnya," katanya.
Ia juga menyoroti keadaan di mana festival band antar pelajar tidak lagi tersedia. padahal panggung seni tersebut merupakan pendidikan musik informal.
Melalui ruang-ruang itu, para pelajar dapat menyalurkan minat dan bakat seni musik mereka.
Efek dari ketiadaan ruang ekspresi seni tersebut, banyak siswa-siswi saat ini kata dia, melakukan aktivitas-aktivitas kurang produktif seperti bergabung dengan Geng Motor.
Pentingnya Amfiteater
Guido memberi penekanan terhadap pembangunan amfiteater sebagai nadi kehidupan seni dan budaya lokal.
Menurut dia, itu merupakan salah cara untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kearifan lokal.
Selanjutnya, setelah fasilitas-fasilitas ini tersedia, langkah selanjutnya adalah menunjuk orang yang tepat untuk mengkoordinasikan semua kegiatan di sana.
Guido betul-betul yakin, keberadaan amfitear "akan membantu menciptakan pengalaman seni yang lebih dalam bagi para seniman."
Selain itu, keberadaan amfiteater akan memberikan peluang yang lebih besar bagi seniman untuk melakukan pertunjukan terjadwal, sehingga membantu mereka untuk mengembangkan kemampuan dan menjangkau lebih banyak penonton.
Sementara itu, fungsi lain adalah sebagai tempat para penggiat seni untuk berdiskusi, mengasah kemampuan mempromosikan karya-karya mereka.
"Karena semua orang bisa berkarya, tapi belum tentu tahu bagaimana memelihara karya mereka seperti apa," katanya.
Amfiteater juga sebagai solusi awal untuk mengatasi kesulitan finansial para seniman. Mengingat, yang ia lihat selama ini masih banyak seniman menghadapi kesulitan finansial.
Paling tidak dengan amfiteater, "bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini dengan cara mengumpulkan para seniman produktif di sana."
Setelah para seniman dikumpulkan dalam sebuah wadah ekspresi seni, usulan Guido selanjutnya adalah membeli karya seniman, seperti lukisan untuk dipajang di kantor-kantor instansi.
Selain akan membantu seniman secara finansial, hal ini akan mendorong mereka membuat karya berkualitas.
Untuk band lokal, Ia menyarankan membuat baju band yang dapat dibeli pegawai instansi sebagai bentuk apresiasi. Juga memutar musik dari seniman lokal di setiap kantor dan membayar royalti kepada penciptanya setiap tahun.
Dengan cara demikian, seniman tidak perlu menunggu pertunjukan baru untuk mendapatkan penghasilan, sehingga semangat berkarya mereka akan tetap terjaga.
Hanya dengan langkah-langkah tersebut tukasnya, orang akan sama-sama belajar bagaimana memberi apresiasi terhadap suatu karya seni.
Keharusan
Terpisah, Ketua Sanggar Seni Kalam Jihad, Zainal Abidin Lubis (50) menyatakan, seorang seniman sebenarnya bisa berkarya di mana saja.
Tapi meski begitu, keberadaan tempat yang layak untuk pertunjukkan akan menciptakan kenyamanan bagi pelaku seni dan penonton.
Karena itu keberadaan amfiteater menurut dia bukan pilihan melainkan suatu keharusan.
"Seharusnya dari dulu amfiteater sudah ada di Pematangsiantar, lengkap dengan fasilitas-fasilitas pendukung yang memadai," kata Zainal kepada Parboaboa, Selasa (26/3/2024).
Ia mengakui banyak seniman yang berpotensi di Pematangsiantar, tetapi cenderung bergerak sendiri karena kurangnya wadah. Akibatnya, mereka menjadi seniman yang 'liar'.
"Bahkan, beberapa di antara mereka enggan menyebut dirinya sebagai seniman, karena merasa sulitnya untuk hidup dari seni di kota ini," ucapnya.
Zainal yakin bahwa wadah seperti amfiteater dapat menyatukan dan mendukung semua seniman yang ada, mulai dari musisi, penari, pelukis, hingga penulis.
Zainal yang juga merupakan seorang penyair menerangkan, peran seni sangatlah besar dalam memperkaya kehidupan masyarakat. Sebagaimana seni dan budaya merupakan dua hal yang tak terpisahkan.
"Sejak zaman nenek moyang kita, seni dan budaya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan. Pengaruh berkesenian sungguh luar biasa dalam membentuk dan memperkaya kehidupan masyarakat, termasuk di Pematangsiantar," tuturnya.
Bagi Zainal, toleransi yang tinggi di Pematangsiantar selama ini dipupuk oleh seni dan budaya. Di mana dalam keberagaman, orang menemukan kekayaan seni yang berlimpah.
Sehingga, ia menyoroti alangkah bagusnya Pemkot menyadari potensi dunia seni demi kemajuan bersama.
Apalagi, Pematangsiantar sendiri punya Maestro seni seperti Oppung Raminah Garingging, penulis-penulis sastra, dan beberapa seniman lainnya. Belum lagi banyak seniman lokal yang menimba ilmu seni di luar kota.
Zainal berkata, "beberapa seniman terpaksa meninggalkan kota ini karena kurangnya wadah yang memadai."
Kontribusi memajukan Pematangsiantar melalui sanggar-sanggar seni juga sangat terbatas. Lagi-lagi, menurut Zainal hal ini disebabkan minimnya wadah yang tersedia.
"Tanpa wadah memadai, seniman cenderung kurang terarah dan kurang mendapatkan pendidikan tentang seni. Inilah kelemahan utama dalam dunia seni di Pematangsiantar," jelasnya.
Keterbatasan wadah tersebut juga berdampak pada rendahnya tingkat kerjasama antara seniman dan Pemkot. padahal, jika saja terdapat amfiteater, kolaborasi akan semakin maksimal.
"Buatlah Pematangsiantar menjadi tujuan yang menarik bagi masyarakat luar kota untuk menikmati dunia seni," katanya.
Dengan adanya amfiteater, sanggar-sanggar seni di Pematangsiantar dapat saling berkolaborasi untuk menciptakan pertunjukan yang unik dan memikat.
"Contohnya, membuat pertunjukan seni tari diiringi pembacaan puisi, sambil ada yang merajut ulos. Sehingga menciptakan cerita mengagumkan dan membuat pengunjung terpesona," katanya.
Pertunjukan semacam itu tidak hanya akan menjadi daya tarik bagi masyarakat lokal, tetapi juga bagi pengunjung dari luar kota. Hal ini akan membuat Pematangsiantar dikenal sebagai pusat seni budaya yang beragam dan kreatif.
Lebih dari itu, melalui pertunjukan seni budaya yang beragam, akan semakin memperkuat toleransi di antara berbagai suku dan etnis yang ada.
Jadi, kata Zainal, "saya tidak mengatakan bahwa amfiteater itu hanya perlu, tapi seharusnya sudah ada sejak dulu."
Karena itu, ia mengingatkan, Pemkot jangan lagi mempertanyakan apakah itu perlu atau tidak, melainkan seharusnya segera bertindak untuk membuatnya.
Zainal yakin para seniman akan bersedia untuk bekerja sama, karena semangat kebersamaan dan perjuangan dalam diri mereka sangatlah tinggi.
Pembangunan Kota harus mengakomodir pembangunan seni
Pengamat Tata Ruang Kota, Marulam Simarmata, mengatakan, sejatinya pembangunan sebuah kota harus juga memperhatikan pembangunan seni dan budaya.
Dalam rangka itu, ia mengusulkan agar penataan ruang kota Pematangsiantar harus dibarengi dengan pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung ekspresi seni.
"Dari yang saya ketahui, para seniman di kota ini telah lama bermimpi memiliki amfiteater, tapi sampai sekarang impian tersebut belum terwujud," kata dia.
Ia menyayangkan komitmen Pemkot menjadikan Pemtangsiantar sebagai tujuan wisata bagi orang-orang dari daerah lain, tetapi amfiteater belum disediakan. Menurut Marulam, hal tersebut menunjukkan ketidakseriusan.
Ia mengaku menyaksikan betapa sulitnya para seniman untuk mencari tempat berkreasi di tengah melimpahnya potensi pelaku-pelaku seni lokal.
Amfiteater dibangun di pinggir Kota
Marualam mengusulkan, jika akhirnya amfiteater dibuat, ia menyarankan agar dibangun secara luas di pinggiran Pematangsiantar, seperti di daerah Tanjung Pinggir.
Hal itu untuk menghindari penumpukan di pusat kota yang dapat menyebabkan kemacetan dan kekurangan tempat parkir.
Selain itu memusatkan kegiatan di pinggiran kota juga dapat mendorong perekonomian secara merata.
Sebagai akademisi, Marulam mengakui bahwa seni memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, lebih-lebih Kehidupan di kota seringkali menyebabkan banyak orang stres.
"Dengan adanya amfiteater, akan ada tempat untuk refreshing dan menghilangkan stres bagi masyarakat," katanya.
Sekretaris Dinas Pariwisata Kota Pematangsiantar, Hamam Soleh, turut menyampaikan keprihatinannya atas kurangnya infrastruktur seni dan budaya di daerah itu.
"Kalau mengingat amfiteater, saya sedih," ucapnya dengan nada lirih kepada Parboaboa, Kamis (28/3/2024).
Dari tahun lalu Hamam ternyata sudah mengajukan pembuatan amfiteater ke Dinas Provinsi, namun ditolak.
Ia betul-betul menyadari, amfiteater merupakan wadah inspirasi untuk mengekspresikan diri dan menikmati beragam acara seni dan budaya.
Ia berjanji untuk mengajukannya kembali, sehingga amfiater akan segera berdiri di Pematangsiantar.
Rencananya, tegas dia amfiteater akan dibangun di gedung bekas bangunan Belanda, yang terletak di Jl. Vihara.
Gedung ini nantinya diharapkan menjadi wadah menyalurkan kreativitas, seni, budaya, sastra, tempat diskusi maupun bedah buku.
Secara pribadi "pembangunan gedung kreatif itu memang sudah menjadi impian saya," tutupnya.
Editor: Gregorius Agung