PARBOABOA, Jakarta – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden memiliki hak untuk berkampanye dalam pemilihan umum, bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang menekankan netralitas dirinya beberapa waktu lalu.
Hal itu disoroti Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Mereka menyebut bahwa perubahan sikap ini harus menjadi perhatian yang berujung pada pentingnya mencegah praktik politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum.
Bivitri Susanti, pegiat hukum tata negara serta hukum administrasi negara yang tergabung dalam CALS, turut mengkritik pernyataan Jokowi.
Ia mengatakan bahwa ini adalah momen penting untuk menegaskan larangan politik dinasti dan nepotisme. Bagaimana mungkin Presiden Jokowi tetap netral ketika anaknya ikut serta dalam pemilihan presiden? Pejabat negara, termasuk presiden, menteri, dan kepala daerah, seharusnya tidak aktif berkampanye.
Bivitri menegaskan bahwa pemilu di Indonesia berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil yang merujuk pada Pasal 22E UUD 1945. Lebih rinci, aturan tersebut berisikan: (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bila aktif berkampanye, karena pejabat negara seperti presiden, menteri, kepala-kepala daerah, akan mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal. Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat.
Kedua kata dia, hal itu juga bisa memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih. Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Perbedaan Berpolitik dan Berkampanye
Menurut Bivitri, perlu diketahui perbedaan antara berpolitik dan berkampanye. Meskipun presiden memiliki hak untuk berpolitik, namun berkampanye, terutama untuk kepentingan pribadi atau keluarga, bukanlah sesuatu yang diperbolehkan.
Ini tidak hanya tentang tafsir norma dalam UU Pemilu, tetapi juga tentang memegang teguh asas-asas pemilu yang LUBER JURDIL sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945.
Lebih lanjut, Bivitri menegaskan bahwa pernyataan Presiden Jokowi tidak hanya tidak etis tetapi juga bisa dianggap inkonstitusional, karena melanggar asas pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945.
Menurutnya, sebagai presiden, Jokowi seharusnya tidak membuat pernyataan yang mendukung perilaku yang melanggar etik dan hukum. Pemilu harus dijalankan sesuai aturan main yang telah ditetapkan tanpa justifikasi apapun dari preside.
CALS pun mendesak Presiden Jokowi dan semua penyelenggara negara untuk mengambil sejumlah langkah, yakni mencabut pernyataan tentang hak berkampanye dan memperhatikan etika dalam semua tindakan dan ucapannya; Menghentikan tindakan yang dapat menguntungkan kandidat tertentu dalam pemilu; Memastikan Bawaslu menjalankan tugasnya untuk mencegah kecurangan yang bersifat TSM
Selain itu mendorong Mahkamah Konstitusi untuk menelaah perannya dalam sengketa hasil pemilu yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan; Mendesak DPR RI untuk menggunakan hak interpelasi dan hak angket terhadap Presiden guna menginvestigasi penggunaan kekuasaan dalam pemilu; dan menyerukan kepada semua penyelenggara negara untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan menekankan pada etika serta mempertimbangkan untuk mundur dari jabatan dalam situasi politik yang tidak demokratis.
Editor: Aprilia Rahapit