Jelang Pelantikan, Beberapa Anggota DRPD Simalungun Belum Laporkan Harta Kekayaan

Ketua Perkumpulan Sumut Watch. (Foto: PARBOABOA/Pranoto)

PARBOABOA, Simalungun - Beberapa anggota DPRD Simalungun terpilih pada Pemilu 2024 belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Padahal, Ketua KPUD setempat, Johan Septian Pradana telah menghimbau agar mereka segera menyerahkan LHKPN sebelum dilantik oleh Gubernur Sumatra Utara (Sumut) pada Oktober mendatang.

"Bagi setiap calon (DPRD) terpilih wajib menyerahkan LHKPN dan itu juga berlaku secara nasional," ujar Johan dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Selasa (13/8/2024).

Johan mengatakan, dari 50 orang anggota DPRD terpilih, sebanyak 46 orang telah menyerahkan LHKPN sedangkan 4 orang lainnya belum. Informasi yang didapatkan Parboaboa dari KPU, mereka yang belum menyampaikan LHKPN berasal dari fraksi Nasdem.

Parboaboa telah mengonfirmasi hal ini ke Sekretaris DPD Nasdem Simalungun, Bernhard Damanik. Ia mengatakan, sebagai salah satu anggota DPRD terpilih, secara pribadi ia telah menyerahkan LHKPN.

Namun begitu, ia tidak mengetahui secara persis apakah kader Nasdem terpilih yang lain telah melakukan hal yang sama. “Teman-teman sepertinya juga sudah melaporkan,” kata Bernhard singkat.

Kepala Bagian Tata Pemerintahan Simalungun, Amon Charles Sitorus menerangkan, saat ini, Pemkab Simalungun tengah menyusun sejumlah dokumen persyaratan pelantikan anggota dewan terpilih untuk disampaikan kepada Pemrov Sumut.

"Paling lambat 25 September akan diajukan ke Pemprov, atau satu minggu sebelum masa jabatan anggota DPRD (sekarang) berakhir," ujar Charles.

LHKPN merupakan amanah UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap pejabat daerah termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaan mereka setahun sekali kepada KPK.

Namun, aspek sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan ataupun tidak jujur atas laporan harta kekayaannya dinilai belum tegas.

Ketua Perkumpulan Sumut Watch, Daulat Sihombing mengatakan LHKPN sangat penting dilaporkan oleh setiap penyelenggara negara sebagai upaya membuktikan akuntabilitas harta kekayaan pejabat.

Menurutnya, pelaporan harta kekayaan bersifat etis, dimana tidak terdapat konsekuensi pidana maupun perdata bagi setiap calon yang tidak melaporkan LHKPN.

"Sistem hukum perihal LHKPN tidak mengatur secara spesifik akibat hukum bagi setiap yang melanggarnya, hanya sanksi administrasif saja" kata Daulat kepada Parboaboa, Selasa (13/8/2024).

Kendati demikian, Sumut Watch sebagai salah satu lembaga independen yang fokus mengawal kebijakan publik mendorong agar setiap pejabat daerah dapat mentaati setiap aturan yang ada, termasuk memberikan contoh kepada masyarakat di Simalungun perihal akuntabilitas hartanya.

"Tentu sebagai pejabat publik ini penting, agar arus naik turunnya harta kekayaan dapat dipantau setiap orang, karna pejabat menggunakan keuangan negara, dan secara etik LHKPN merupakan bagian dari kesadaran dan kejujuran pejabat negara," pungkasnya.

Pembangunan Kesadaran Anti Korupsi

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus menegaskan, pentingnya pelaporan harta kekayaan oleh pejabat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam rangka membangun kesadaran anti korupsi.
 
Ia menekankan bahwa kewajiban rutin melaporkan harta ke KPK adalah langkah awal dalam mencegah praktik korupsi di kalangan pejabat. Saat ini, tegasnya, pelaopran LHKPN masih pada tahap membangun kesadaran saja.

“Laporan yang disampaikan oleh para pejabat belum dapat dijadikan sebagai dokumen yang digunakan KPK untuk menggali atau mempertanyakan kekayaan seseorang yang dinilai tidak wajar,” kata Lucius kepada Parboaboa.

Ia menambahkan LHKPN yang dilaporkan hanya menjadi berkas yang sekadar dipublikasikan kepada publik, tanpa ada konsekuensi yang jelas bagi pejabat yang tidak disiplin dalam pelaporannya.
 
Hampir pasti, pungkasnya, tidak ada sanksi bagi pejabat negara, seperti anggota DPR, yang tidak jujur atau tidak disiplin dalam melaporkan harta kekayaan mereka.

“Ini mungkin menjadi alasan mengapa beberapa anggota DPR sering kali kedapatan tidak disiplin melaporkan harta mereka,” katanya.

Lantas ia  mengusulkan agar perlu ada sanksi bagi ketidakdisiplinan pejabat dalam melaporkan LHKPN. Selain itu, ia juga mendorong agar KPK diberi wewenang untuk melakukan verifikasi terhadap laporan kekayaan guna memastikan kejujuran para pejabat dalam melaporkan harta mereka.

Sebagai informasi, pada periode pelaporan LHKPN untuk tahun 2023 yang berakhir pada 31 Maret 2024, KPK mencatat bahwa hingga 3 April 2024, masih terdapat 14.072 Penyelenggara Negara/Wajib Lapor (PN/WL) yang belum melaporkan harta kekayaannya.

Dari total ini, mayoritas berasal dari bidang Eksekutif (pusat dan daerah), di mana 9.111 dari 323.651 WL Eksekutif belum menyampaikan laporan mereka.
 
Di bidang Legislatif, sebanyak 4.046 dari 20.002 WL juga belum melapor dengan tingkat kepatuhannya mencapai 79,77%. Sementara itu, di bidang Yudikatif, 175 dari 18.405 WL belum menyampaikan laporan dengan tingkat kepatuhan sebesar 99,05%.
 
Untuk BUMN/BUMD, dari 44.786 WL, tercatat 740 yang belum melapor.

Ipi Maryati Kuding, Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK, mengungkapkan bahwa dari total 406.844 PN/WL yang wajib melapor pada tahun 2023, KPK telah menerima 392.772 laporan LHKPN atau sekitar 96,54%.
 
Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan kepatuhan pada tahun 2022 yang mencapai 97%. KPK mengimbau kepada PN/WL yang belum melaporkan harta kekayaannya agar segera memenuhi kewajiban tersebut. Meski pelaporan dilakukan setelah batas waktu, laporan tetap diterima dengan status “Terlambat Lapor.”

Adapun tingkat kepatuhan nasional untuk pelaporan yang dinyatakan lengkap baru mencapai 51,71% atau sekitar 210.370 dari total 392.772 PN/WL yang sudah melaporkan LHKPN-nya. 

Sisanya masih dalam proses verifikasi atau menunggu perbaikan dari PN/WL. KPK memiliki waktu 14 hari kerja untuk melakukan verifikasi setelah laporan LHKPN dikirimkan.

Ipi menegaskan, pentingnya pelaporan LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi. Karena itu, PN/WL diminta untuk mengisi laporan tersebut dengan jujur, benar, dan lengkap, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.
 
Undang-undang ini mewajibkan Penyelenggara Negara untuk siap diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat, serta untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sesuai ketentuan.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS