PARBOABOA, Jakarta - Gempa bermagnitudo 7,6 yang mengguncang Prefektur Ishikawa, Jepang, pada Senin (1/1/2024), menyebabkan 95 warga negara Indonesia (WNI) kehilangan tempat tinggal mereka.
Menurut data terbaru dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, yang dirilis pada Minggu (7/1/2024), mereka tersebar di beberapa area, yaitu 38 orang di Ogi, 25 orang di Suzu, 27 orang di Saikai, dan lima orang di Wajima.
KBRI Tokyo juga mengumumkan bahwa sebanyak 183 WNI di Prefektur Ishikawa terdampak oleh gempa ini.
WNI yang terdampak, tersebar di sembilan titik lokasi yang berbeda di wilayah tersebut.
Dari jumlah tersebut, 170 WNI telah berhasil kembali ke kediaman mereka.
Namun, masih ada 13 WNI yang terpaksa mengungsi dan berada di lokasi penampungan, yang terletak di dua tempat berbeda.
KBRI mengumumkan bahwa tak ada korban jiwa WNI dalam kejadian ini.
Korban Gempa Jepang Tembus 100 Orang
Otoritas Jepang baru-baru ini mengumumkan bahwa korban tewas akibat bencana ini telah mencapai 100 orang dan 450 orang mengalami luka-luka.
Situasi ini diperparah dengan 211 orang yang masih dilaporkan hilang, angka yang menurun sedikit dari 222 korban hilang sebelumnya.
Upaya pencarian dan penyelamatan korban terus berlangsung.
Ribuan petugas bekerja keras di tengah reruntuhan bangunan, namun kondisi cuaca buruk dan kerusakan infrastruktur menjadi tantangan besar.
Hujan lebat yang akan diikuti salju diperkirakan turun pada Minggu, (7/1/2024) semakin mempersulit upaya penyelamatan.
Di sisi lain, dampak gempa juga terasa pada layanan umum masyarakat.
Sebanyak 23.800 rumah di Ishikawa kehilangan aliran listrik dan lebih dari 66.400 rumah tanpa pasokan air bersih.
Situasi ini juga mempengaruhi rumah sakit serta fasilitas perawatan lansia dan penyandang disabilitas.
Lebih dari 31.400 orang kini mengungsi di 357 pusat penampungan yang disediakan pemerintah.
Gubernur Ishikawa, Hiroshi Hase, menyebut, pihaknya telah melakukan yang terbaik untuk melakukan operasi penyelamatan di desa-desa terpencil. Namun kenyataanya, isolasi tersebut belum teratasi sesuai keinginan pemerintah Jepang.
Editor: Atikah Nurul Ummah