PARBOABOA, Jakarta - Pengaruh teknologi buatan atau artificial intelligence (AI) yang luar biasa telah diramalkan Yuval Noah Harari sejak tahun 1960-an.
Dalam buku berjudul Homo Deus (2005), Harari mengulas secara lengkap pengaruh AI dan bioteknologi yang membawa manusia menuju fase transhumanisme.
Pada fase ini, manusia seperti berada pada suatu dunia yang lain. Di sana, teknologi memainkan peranan besar untuk mengganti kemampuan fisik dan kognitif manusia.
Kehadiran AI lantas membawa perubahan besar pada cara manusia dalam memahami dan mendefinisikan kemanusiaan.
AI tidak hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari, tetapi juga mengguncang konsep mendasar tentang apa artinya menjadi manusia.
"Teknologi [AI] tidak hanya mempercepat kemajuan, tetapi juga memicu pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang kehidupan," tulis Harari dalam Homo Deus.
Di masa lalu, manusia didefinisikan oleh kemampuan fisik dan kecerdasan unik yang membedakannya dari makhluk lain. Namun, dengan hadirnya AI dan bioengineering, batas-batas tersebut mulai kabur.
Harari menyoroti bagaimana manusia perlahan-lahan melepaskan monopoli mereka atas kreativitas dan pengambilan keputusan.
"Apa yang terjadi ketika algoritma mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri sendiri?" tulis Harari.
Pertanyaan ini menggambarkan tantangan besar di era modern, yaitu terkait cara manusia dalam mempertahankan identitas mereka di tengah dominasi teknologi canggih.
Teknologi, dengan begitu, tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi juga aktor utama yang mampu menggantikan manusia dalam banyak aspek kehidupan.
AI kini mampu menulis, mencipta musik, bahkan membuat keputusan medis yang lebih akurat daripada dokter manusia. Meski demikian, Harari memperingatkan ada bahaya besar yang mengintai manusia.
Kesenjangan antara mereka yang menguasai teknologi dan mereka yang tidak, dapat menciptakan stratifikasi sosial baru. Selain itu, manusia mungkin kehilangan kendali atas sistem yang mereka ciptakan sendiri.
Karena itu, Harari menekankan pentingnya berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan. Manusia perlu merefleksikan kembali apa yang membuat mereka benar-benar menjadi "manusia."
Ia mendorong masyarakat global untuk terlibat dalam percakapan mendalam tentang etika teknologi dan cara memanfaatkannya untuk kepentingan bersama, atau bukan sekadar keuntungan segelintir pihak.
"Masa depan tergantung pada sejauh mana kita mampu menyelaraskan perkembangan teknologi dengan upaya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan," pungkasnya.
Kekhawatiran Harari, Jawaban Pemerintah
Kekhawatiran Harari puluhan tahun lalu terbukti hari-hari ini. Hampir di semua sektor kehidupan, AI telah menggantikan pekerjaan manusia.
Meski berdampak mempermudah, AI juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah AI berdampak menggerus daya kritis manusia.
Orang tidak lagi mencari tahu kebenaran sebuah informasi, tetapi menggunakannya semata-mata karena tuntutan kecepatan.
Telkom University juga menyebut ada beberapa dampak negatif penggunaan AI, seperti ancaman terhadap privasi dan keamanan data, ketergantungan berlebihan, dan penggantian tenaga kerja oleh otomatisasi.
"Jika tidak digunakan dengan bijak, AI memiliki potensi mengganggu privasi, menantang prinsip etika, mengancam keberlanjutan pekerjaan, serta merusak harmoni sosial," tulis Telkom di website resmi mereka, Jumat (04/10/2024).
Persoalan-persoalan ini ditangkap oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) untuk merumuskan regulasi baru terkait metode penggunaan AI secara bertanggung jawab.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyatakan pemerintah tengah mempersiapkan kerangka hukum yang lebih kokoh terkait penggunaan teknologi AI.
Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa AI dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan memberikan kontribusi luas bagi masyarakat.
“Kita akan menyusun prinsip-prinsip dalam pengembangan dan penerapan AI, sehingga dapat diimplementasikan secara vertikal di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan layanan keuangan," kata Nezar dalam pernyataan yang diterima PARBOABOA, Selasa (17/12/2024).
Rencananya, lanjut Reza, upaya tersebut akan mulai diberlakukan pada "pertengahan Januari dengan serial workshop dan diskusi."
Menurut Nezar, kehadiran regulasi menjadi sangat penting mengingat perkembangan teknologi AI yang semakin masif.
Ia mencontohkan langkah perusahaan teknologi global seperti Meta, yang telah meluncurkan fitur baru bernama Meta AI untuk mempermudah pengguna dalam mencari berbagai informasi yang diperlukan.
"Ini berarti bahwa masyarakat akan segera berinteraksi langsung dengan AI dalam waktu dekat," ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Digital telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kominfo sebagai panduan penggunaan AI.
Panduan ini menekankan prinsip-prinsip penting, seperti transparansi, akuntabilitas, kemanusiaan, penghormatan terhadap hak cipta, dan keselamatan.
Nezar juga menyampaikan harapannya agar regulasi baru ini menjadikan Indonesia sebagai model global dalam pengaturan teknologi AI yang seimbang antara inovasi teknologi dan kemaslahatan manusia.
"Hal terpenting adalah memastikan kita tidak merasa takut terhadap teknologi yang terus berkembang. Kita coba memanfaatkan AI untuk kepentingan kemanusiaan," pungkasnya.
Langkah utama, jelas Nezar, yakni soal cara masyarakat bisa menggunakan AI sebagai produk yang tidak menggeser ataupun mengancam eksistensi kemanusiaan.
Nezar menekankan perlunya kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat dalam merumuskan regulasi AI.
Menurutnya, keterlibatan semua pihak akan memastikan aturan yang disusun bersifat inklusif dan relevan dengan kebutuhan berbagai sektor.
“Kolaborasi adalah kunci keberhasilan dalam menyusun regulasi yang efektif dan relevan,” ujar Nezar.
Dengan kerangka hukum yang solid dan kolaborasi yang kuat, pemerintah optimis AI dapat digunakan secara optimal untuk mendukung pembangunan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia.