Agar Gen Z Tak Menyakiti Diri Sendiri

Gen Z sedang giat berdiskusi. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA - Setelah dibujuk beberapa kali oleh pacarnya, Rafi akhirnya mau berkonsultasi ke psikolog. Tak ada syarat yang diajukannya. Naik sepeda motor, petang itu mereka berdua mendatangi sebuah klinik di pusat kota.

Rafi acap menyakiti diri sendiri. Hal itu dilakukannya dengan menyayat-nyayat lengan bawah bagian dalam. Sekian lama, cutter alatnya. Belakangan, remaja berusia 17 tahun berpaling ke kaca kecil bersisi agak tebal tapi tajam. Soalnya, teman-temannya sesama pelaku self-harm mengatakan itu lebih aman. Selain luka tidak dalam juga tak memunculkan keloid (tonjolan di permukaan kulit setelah luka sembuh). Setelah mencoba, ia sepakat dengan mereka.

Kedua lengan bawahnya berbarut-barut sudah. Jejak itu ada yang sudah lama dan ada pula yang baru. Sensasi tersendiri, itulah yang dirasakan Rafi saban membuat sayatan. Saat itu perasaan terbuang, kerdil, tak berguna, dan yang lain serasa hilang. Itu dikatakannya kemudian ke psikolog yang menanya mengapa ia menyakiti diri sendiri.

Sebelumnya, Rafi telah mendiagnosa diri sendiri dengan menggunakan aplikasi yang ada di internet. Kesimpulannya? Ia bipolar. Buktinya, mood-nya bisa berubah seketika laksana pendulum yang tengah bergerak. Barusan, waktu memutuskan mau main basket, semangatnya tinggi. Eh, sekarang tiba-tiba rasa sedih yang sangat sudah mendekap. Bermurung durja ia kemudian. Itu bisa seharian. Bahkan berhari-hari.

Dalam pertemuan perdana di klinik psikologi itu kesepakatan dicapai. Masa konsultasi tiga minggu (21 hari). Ada beberapa hal yang dilakukan, di samping tatap muka tiga kali. Terapi, tentu, salah satunya. Juga, komunikasi manakala perlu lewat aplikasi yang ada di henpon.

Hal yang dilakukan sang psikolog di awal adalah menelusuri riwayat Rafi lewat serangkaian percakapan saat bermuka-muka. Keluarga dan lingkungan terdekat remaja itu ternyata payah. Demikian kesimpulan psikolog yang menanganinya.

Masih kelas 5 SD Rafi tatkala orang tuanya bercerai. Ayahnya pergi entah ke mana dan itu untuk seterusnya. Ibunya berpaling ke kota lain di pulau seberang untuk mencari penghidupan. Perempuan itu kemudian mendapatkan pekerjaan sehingga bisa membiayai anaknya.

Rafi kecil dititip di rumah nenek kandung (dari pihak ibu) di kampung. Perempuan itu serumah dengan anaknya yang mengalami skizofrenia. Entah mengapa, paman bergangguan jiwa itu gemar menganiaya keponakan. Memukuli dilakukannya. Terkadang mengunci di dalam kamar. Itu berakhir setelah tubuh Rafi membesar saja selepas akil balik.

Sejak ditinggal orang tua, Rafi sering merasa terbuang, tak berguna, dan kesepian. Ibunya jarang betul pulang. Komunikasi mereka lewat telepon genggam saja. Berjarak, Rafi menelepon kalau perlu uang saja. Jadi, hubungan keduanya seakan transaksional belaka.

Kolaborasi merupakan adat Gen Z. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Belakangan hari Rafi mencoba mencari obat penawar duka-lara. Teman sesekolahnya lantas memberi alamat situs self-harm.  Yang terjadi kemudian, ia mempraktikkan petunjuk yang ada di sana. Kemungkinan besar ia akan terus menyakiti diri sendiri kalau saja tidak jadian dengan adik kelas yang ternyata pengasih. Perempuan itulah yang kemudian membujuk-merayu sehingga ia kemudian sudi berkonsultasi ke psikolog.

Senantiasa didampingi pacarnya, Rafi rajin menjalani proses penyembuhan. Selain menjalani hobi dengan rutin bermain basket, dia juga tertib mengisi jurnal (buku catatan) ihwal apa saja yang disyukurinya setiap hari. Menuliskan rasa syukur itu ternyata sungguh merupakan obat jiwa baginya. Itu memang bagian dari terapi yang dijalankan psikolognya.

Kini ia tak menyakiti diri lagi. Soalnya, perasaan terbuang, tak berguna, dan kesepian telah kian menjauh dari dirinya. Hasil diagnosa sendiri yang menyatakan dirinya bipolar sekarang dianggapnya tak lebih dari lelucon. Telah bisa berdamai dengan kehidupan, ia sudah memaafkan di dalam hati ibu kandung yang sekian lama ‘membuang’ dia.

Mengalami depresi, bukan bipolar. Begitulah Rafi dalam penilaian psikolog yang menanganinya. Bipolar adalah perubahan suasana hati dan energi yang sangat ekstrim yang berlangsung dalam jangka panjang. Dari sangat girang dan bersemangat,  seketika bisa menjadi murung dan lesu betul. Atau sebaliknya. Episodenya variatif; biasanya dari beberapa minggu ke beberapa bulan. ‘Mania’ sebutannya manakala penderita sedang bergairah betul dan berenergi tinggi. Keadaan sebaliknya bersebutan ‘depresi’.

Seperti Rafi sewaktu belum sembuh, Alissa juga acap menyakiti diri sendiri. Jejak sayatan silet banyak di pergelangan kedua tangannya. Pelarian dari rasa teralienasi dan sia-sialah semua itu. Ia merasa lega begitu usai melakukannya.

Berotak encer, Alissa menonjol di sekolah. Setamat dari sebuah SMA negeri ia ingin melanjutkan pendidikan. Tapi apa daya: orang tuanya tak punya uang. Ia pun menganggur.

Melihat teman-temannya—terlebih yang jauh dari pintar—bisa meneruskan sekolah ia pun masygul dan tertekan. Merasa dirinya tak berguna dan sia-sia. Tak lebih berharga dari seonggok sampah busuk. Ia berpikir dan berpikir terus saban hari sembari menyesali nasib. Akhirnya ia over thinking (ini istilah anak zaman sekarang). 

Di saat seperti itulah ia menemukan di internet tawaran menarik yaitu self-harm sebagai obat penawar untuk pikiran yang sedang diganduli beban maha berat. Langkah konkritnya macam-macam disebut dan dicontohkan. Termasuk membentur-benturkan kepala ke dinding. Pilihan dia kemudian adalah menyilet pergelangan tangan.

Kehidupan terus berlanjut sepanjang nafas masih berdenyut. Suka-tak suka, akan demikian juga Alissa yang tak bisa berharap secara finansial ke orang tua. Ia pun bekerja sebagai asisten tukang mi ayam. Upahnya yang cuma Rp 75 ribu per hari disisihkannya sejak beberapa bulan terakhir.

Berbekal uang simpanan itu, pada satu petang ia mendatangi sebuah klinik psikologi. Kepada psikolog yang memeriksa ditumpahkannya beban pikiran yang telah menggunung. Di akhir curahan hati ia menyatakan ia ingin healing dan berhenti menyileti pergelangan tangan.

Aktifis perempuan Yuniyanti Chuzaifah. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Psikolog perempuan itu terenyuh. Seketika wajah anaknya yang sebaya dengan Alissa dan si bungsu yang bertaut sekitar 2 tahun muncul di benaknya. Ia sungguh ingin menolong. Sebab itu ia menawarkan permufakatan. Asisten tukang mi ayam itu tak usah membayar apa-apa. Tapi, sebagai imbalannya, ia mesti rajin konsultasi dan menjalankan terapi.

Permufakatan dijalankan. Seperti halnya Rafi, Alissa pun sekarang telah mensyukuri hidup. Ia sudah ceria serta aktif berkegiatan termasuk di jalur hobi. Tak seperti saat sangat tertekan, ia kini tidak menutup diri lagi. Hasratnya untuk meneruskan sekolah bertambah besar. Pekerjaan sebagai asisten tukang mi ayam tidak menjanjikan. Ia sedang menjajaki lapangan lain.

Mewabah

Self-harm bisa dilakukan siapa saja; bukan hanya mereka yang tidak beruntung secara ekonomi atau sosial. Anak-anak kalangan yang sangat kaya (super rich) juga ada yang melakoninya. Karena, seperti kata psikolog Ratih Ibrahim, mereka ini pun ada yang sangat kesepian dan merasa hidupnya sia-sia kendati bisa membeli apa saja. Tidak ada lagi hal menarik dan tak tahu akan melakukan apa lagi. Itu yang membuat mereka putus asa dan mencari saluran pelarian.

Mengiris-ngiris lengan, membentur-benturkan kepala, menggigiti tubuh sendiri, meregangkan badan secara ekstrim, mematahkan tulang sendiri dengan menjatuhkan badan atau meloncat, menggunakan pil secara berlebih, dan yang lain yang merupakan bentuk pelarian pikiran atau katarsis kini semakin mewabah di seluruh dunia karena memang ada yang mempromosikan dan mengglrorifikasi di internet. Terlibatnya sejumlah idola Generasi Z dalam aksi menyakiti diri sendiri ini telah memudahkan penyebaran ‘virus’ ke mana-mana (Philip Graham dan Nick Midgley, 2020).

Di Indonesia sendiri bertambah banyak saja kaum muda yang terdampak wabah ini. Korbannya tak hanya di kota tapi juga di pedesaan.

“Di pesantren-pesantren pun saya lihat ada santri yang lengannya berornamen goresan-goresan bekas luka. Sebagian mereka perempuan. Itu katanya karena depresi,” kata Yuniyanti Chuzaifah, aktifis perempuan yang menjadi Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014. “Self-harm ini masalah serius. Sudah waktunya bagi kita semua untuk memperhatikannya.”

Gejala Depresi

Rafi dan Alissa merupakan bagian dari Generasi Z (lahir pada 1997—2012) yang menjadi korban gangguan suasana hati. Depresi sebutannya. Menyakiti diri sendiri hanya salah satu gejala penyakit ini. Gejala yang lain banyak.

Pada anak-anak dan remaja gejala yang umum adalah suasana hati yang tertekan atau kesedihan berlebihan; merasa tidak berharga, hampa, atau mati rasa; energi rendah;  kehilangan minat dalam aktivitas; gagal mencapai pertambahan berat badan yang diharapkan; masalah tidur (kebanyakan atau kekurangan); retardasi psikomotor (atau agitasi); kelelahan atau kurangnya energi sehingga lesu melulu; perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan; kesulitan berpikir atau membuat keputusan; preokupasi dengan kematian (pikiran tentang kematian dan bunuh diri); iritabilitas (turunnya kemampuan untuk menanggapi dan merespons rangsangan); serta keluhan fisik atau somatik.

Psikolog Ratih Ibrahim. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Penyebab depresi? Tidak ada faktor tunggal, kata psikolog Lina Madila Amir yang berpraktik di Pringsewu, Lampung.

Psikolog Ratih Ibrahim dan psikiater Adhitya Sigit dari Universitas Indonesia mengamini. Mereka bertiga mengatakan faktor psikologi, biologi, dan sosial selalu ikut berkelindan. Adapun Generasi Z, menurut mereka, kian rawan saja untuk dideranya. 

Bersambung...

Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait.

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS